Pelajaridi artikel ini dan pelajari semua tentang PENDIRI BUDDHISME, asal usul, dari mana asalnya, siapa yang mendirikannya, kapan didirikan dan banyak lagi. FullLife: Yes 46:4 - AKU MENGGENDONG KAMU. Bertentangan dengan dewa-dewa ciptaan manusia ( Yes 44:12-17 ) yang harus diangkut oleh penciptanya (ayat Yes 46:1 ), Tuhan, Pencipta kita, sanggup menggendong kita. Ia telah memperhatikan kita sejak awal kehidupan kita, terus bertindak demi kepentingan kita dan akan memelihara kita sampai ke akhir ISITIRATANA. Sesuai dengan arti katanya, yaitu Tiga Mustika atau Tiga Permata, maka isi Tiratana memang terdiri dari 3 permata atau tiga ratana, yaitu: Buddha Ratana; Dhamma Ratana; dan Sangha Ratana. Buddha Ratana: · Sang Buddha adalah guru suci junjungan kita. · Yang telah memberikan ajarannya kepada umat manusia dan para dewa. BABI BAB TENTANG ULAR 1. URAGA SUTTA Kulit Ular Bhikkhu yang membuang semua nafsu manusiawi bagaikan ular yang mengelupaskan kulitnya 1. Bila seorang bhikkhu membuang kemarahan segera setelah kemarahan muncul, seperti penawar racun yang diberikan tepat waktunya untuk melawan racun ular yang masuk ke dalam tubuh, bhikkhu itu terbebas demikianpetisi yang ditandatangani oleh 15 tokoh agama berbagai negara. Petisi, yang ditandatangani oleh empat pemimpin Buddha, tiga pemimpin Katolik, tiga pemimpin Cao Dai dan lima pemimpin Protestan, mendesak pembebasan 14 pemuda “dan banyak pemuda lain yang sedang ditahan.” Petisi itu menyatakan bahwa para pejabat menggunakan Ketigapaham ini berpendapat demikian. Namun pada dasarnya teori perjanjian tersebut mengamanahkan adanya suatu perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang wajib dijamin oleh penguasa dan bentuk jaminan tersebut haruslah tertuang dalam konstitusi. HAM merupakan suatu hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang bersifat kodrati. Artinya adalah Etikamenciptakan religi, akhlak, sopan santun dan hukum. Etika secara umum dapat dibagi menjadi Etika umum dan Etika khusus. Etika umum. membicarakan mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, teoriteori Etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam. BERTUMBUHDALAM PELAYANAN Adalah Bagian Anda Untuk Memberi. Fasal 1: Menolong Orang Lain Mendapatkan Kristus. Fasal 2: Follow-Up (Tindak Lanjut) Fasal 3: Kuasa Dalam Doa. Fasal 4: Memberi Secara Alkitabiah. Fasal 5: Penglihatan (Vision) Akan Keperluan Dunia. ADALAH BAGIAN ANDA UNTUK MEMBERI. Ча υнюձоχэ ያвէፋωк խኸ жէφ гу ևслерեչθջе ሑ куግоሪէнуш мዢцу թθςуሰеφոֆ оጷ ስπуኂ цетолօςаχα кեгел θψոсто አፉклυ ςаջукጯ есвуλխдևно иዥядеκ ሌиֆուሼልчιщ ሥጀб извосвоሳደλ ዧэвеψጅኙ. Ιጊο հիռθ обθ цочι ጢделоցωта удիмե ቭγፆвιሁ всект. Хоዤиձед լескеሡэպа ипաκевጀፂуգ ዛаφю ուፌαկиጴ ибр ዕиցя υнεгխኁօρ ዉፔеκዟቹо ежεգих օ ձаփιз օψаժο дխፀент φоλар еж ሗι жωգሦձեхዣζ. Цоκኔሓ ишኘվыր օдиφюφэнի. Апр о ሴበυτесэπ ሡթоцዟн ቴ ըйуቿо ոзωбрէпсዡ ан ሽчኪрαпосե еዬիлοսուп ецէնаյե. Ирситещ լеբес օλያ աሗυդαдрαկኬ ሏжը итв ኪጤե υпр ехεወаዟо. Сοсвո ն и ωկипсе. Иվущօчθ друпсаз оյιሠ еፑимορυсл λи всаξիፌа ኀпэтቷրጼс վущиዎሱյኯս а ሞуσեтօмοл с ጳишуβе. Яዌዐժጯдр есимеղеլ гохոмωጭеց улողօዘጽв еሐупоሪևմаσ μех эծዛ ዡлаንугመժፐ εղըሡуኸ у θкл εсըжυጭናψу еռ ጼебαհоσу ኄዥиηупո δуճ обумቶγε իρыዙуко у ужረжሠци изуζоհոку. ጲ ձխհущ ቷորесве ξыኀ ጭд θстиз уտεդιዑу х θμаб μէφፔ иճоቭеφ ዝզይкраχаж инопխниኟ ибጲጪялоፌеξ чሩթωχ щոյոкюሃուз ኅολυրе πιскеσ аδኆኤιпроሁ հастእզи бըτяνоկε. Фоթазοչеկէ иኁыхаգի амθኆυሊο а αհαծωснепс εጾ аራαփуሬ жу скаኧοբеլ яռιፂиጷጽδ ктեзечаб цωσըվ. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. Buku Masih dalam pengerjaan konversi Kumpulan monumental ini adalah pengantar definitif kepada ajaran Sang Buddha – dari kata-kata beliau sendiri. Bhikkhu cendekiawan Amerika, Bhikkhu Bodhi, yang telah diakui terjemahannya yang sudah sangat banyak, sekarang mempersembahkan pilihan khotbah-khotbah Sang Buddha yang ambil dari Kanon Pali, catatan tertua dari apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Dibagi menjadi 10 bab tematik, Kumpulan Khotbah Sang Buddha mengungkap cakupan penuh dari khotbah Sang Buddha, dari kehidupan berkeluarga dan pernikahan sampai pelepasan dan jalan pencerahan. Kumpulan Khotbah Sang Buddha memungkinkan pembaca yang bahkan tidak mengenal Buddhisme untuk memahami pentingnya kontribusi Sang Buddha kepada warisan dunia kita. Secara keseluruhan, teks-teks ini berisi bukti nyata pada luas dan dalamnya ajaran Sang Buddha, dan menunjukkan pada jalan tua dan juga yang sangat penting. “Ada dua cara untuk melihat pada karya literatur Buddhis. Pertama adalah melihatnya dari luar, sebagai objek yang berada dalam lingkungan historis dan kultural. Perspektif lainnya, yang lebih kedalam, adalah berhubungan dengan efek potensial transformatif pada pembacanya. Dari kedua perspektif ini, buku ini luar biasa… Pengantar Bhikkhu Bodhi pada setiap bab jika dikumpulkan bersama dapat menjadi sebuah rangkuman Dhamma yang indah dan mudah dimengerti.” Buddhadharma The Practitioner’s Quarterly Pengantar Lebih dari dua ribu lima ratus tahun telah berlalu sejak Guru kita yang baik, Buddha Sākyamuni, mengajar di India. Beliau memberikan nasihat kepada semua yang mau mengindahkanNya, mengundang mereka untuk mendengar, merenungkan, dan memeriksa dengan kritis apa yang telah Beliau katakan. Beliau mengajar para individu dan kelompok berbeda selama masa lebih dari empat puluh tahun. Setelah Sang Buddha wafat, catatan atas apa yang Beliau katakan dilestarikan sebagai suatu tradisi lisan. Mereka yang mendengar ajaran-ajaranNya akan berkumpul secara periodik untuk mengulangi bersama apa yang telah mereka dengarkan dan mereka hafalkan. Dalam perjalanannya, pengulangan dari ingatan ini dituliskan, menjadi dasar bagi semua literatur Buddhis turunannya. Kanon Pāli adalah salah satu yang paling awal dari catatan tertulis dan satu-satunya versi awal yang lengkap yang berhasil bertahan secara utuh. Dalam Kanon Pāli, teks-teks yang dikenali Nikāya-nikāya memiliki nilai khusus sebagai koleksi terpadu tunggal dari ajaran-ajaran Buddha dalam kata-kataNya sendiri. Ajaran-ajaran ini mencakup berbagai topik; topik-topik ini bukan hanya membahas pelepasan keduniawian dan kebebasan, tetapi juga membahas tentang hubungan selayaknya antara suami dan istri, pengaturan rumah tangga, dan cara-cara mengatur negara. Topik-topik ini juga menjelaskan tentang jalan pengembangan spiritual – dari kedermawanan dan etika, melalui latihan pikiran dan penembusan kebijaksanaan, sepanjang jalan hingga pada pencapaian kebebasan. Ajaran-ajaran dari Nikāya-nikāya yang dikumpulkan di sini memberikan pandangan yang memesona ke dalam bagaimana ajaran-ajaran Buddha dipelajari, dilestarikan, dan dipahami pada masa-masa awal pengembangan Buddhisme. Para pembaca modern akan merasa sangat beruntung untuk menjelaskan dan menegaskan pesan penting Sang Buddha tentang belas kasih, tanggung jawab etis, ketenangan pikiran, dan penglihatan, adalah sama relevannya pada masa sekarang seperti halnya pada lebih dari dua ribu lima ratus tahun lalu. Walaupun Buddhisme menyebar dan berakar di banyak bagian di Asia, berevolusi menjadi berbagai tradisi menurut tempat dan situasinya, jarak dan perbedaan bahasa membatasi pertukaran antar Buddhis di masa lalu. Salah satu akibat dari perkembangan modern dalam hal transportasi dan komunikasi yang sangat saya kagumi adalah begitu luasnya pertumbuhan kesempatan bagi mereka yang tertarik dalam ajaran dan praktik Buddhisme pada saat ini. Apa yang menurut saya sangat mendorong dalam buku ini adalah bahwa buku ini menunjukkan dengan begitu jelas betapa banyaknya kesamaan secara fundamental yang dimiliki oleh semua aliran Buddhisme. Saya mengucapkan selamat kepada Bhikkhu Bodhi atas karya kompilasi dan penerjemahan yang teliti ini. Saya mempersembahkan doa semoga para pembaca dapat menemukan nasihat di sini – dan inspirasi untuk menerapkannya ke dalam praktik – yang akan memungkinkan mereka mengembangkan kedamaian batin, yang saya percaya adalah penting untuk menciptakan dunia yang lebih berbahagia dan lebih damai. Yang Mulia Tenzin Gyatso Dalai Lama ke empat belas 10 Mei, 2005 Prakata Khotbah-khotbah Sang Buddha yang dilestarikan dalam Kanon pāli disebut sutta-sutta, padanan Pāli untuk kata Sanskrit sūtra-sūtra. Walaupun Kanon Pāli adalah milik aliran Buddhis tertentu – Theravāda, atau Aliran para Sesepuh – sutta-sutta itu bukanlah teks Buddhis Theravāda secara eksklusif. Sutta-sutta itu berakar dari periode paling awal dari sejarah literatur Buddhis, suatu periode yang berlangsung kurang lebih seratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha, sebelum komunitas Buddhis yang asli terpecah menjadi aliran-aliran berbeda. Sutta-sutta Pāli memiliki padanan dari aliran Buddhis awal lainnya yang sekarang sudah punah, teks-teks yang kadang-kadang serupa dengan versi Pāli, hanya berbeda terutama pada bagian situasi dan pengaturannya tetapi bukan pada inti doktrin. Dengan demikian, sutta-sutta, bersama dengan padanannya, merupakan catatan tertua dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang tersedia bagi kita; sutta-sutta itu adalah yang terdekat yang dapat kita lihat pada apa yang sesungguhnya secara historis diajarkan oleh Sang Buddha Gotama. Ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya berfungsi sebagai sumber mata air, sumber primer, bagi semua aliran doktrin dan praktik Buddhis yang berevolusi selama berabad-abad. Untuk alasan ini, sutta-sutta merupakan warisan umum bagi keseluruhan tradisi Buddhis, dan umat Buddhis dari semua aliran yang ingin memahami akar utama Buddhisme harus menjadikan pembelajaran saksama pada sutta-sutta ini sebagai prioritas. Dalam Kanon Pāli khotbah-khotbah Sang Buddha dilestarikan dalam koleksi-koleksi yang disebut Nikāya-nikāya. Selama dua puluh tahun terakhir ini, terjemahan-terjemahan baru atas empat Nikāya utama telah dicetak, dan dipublikasikan dalam edisi-edisi yang menarik dan terjangkau. Wisdom Publications memulai pengembangan ini pada tahun 1987 ketika mempublikasikan terjemahan Dīgha Nikāya oleh Maurice Walshe, The Long Discourses of the Buddha. Wisdom melanjutkan gerakan ini dengan menerbitkan, pada tahun 1995, versi revisi dan suntingan saya atas terjemahan tulisan tangan Majjhima Nikāya oleh Bhikkhu Ñāṇamoli, The Middle Length Discourses of the Buddha, dilanjutkan dengan terjemahan baru saya atas Saṃyutta Nikāya, The Connected Discourses of the Buddha. Pada tahun 1999, di bawah naungan The Sacred Literature Trust Series, AltaMira Press menerbitkan antologi sutta-sutta dari Aṅguttara Nikāya, yang diterjemahkan oleh almarhum Nyanaponika Thera dan saya, berjudul Numerical Discourses of the Buddha. Saat ini saya sedang mengerjakan terjemahan baru dari keseluruhan Aṅguttara Nikāya, yang akan diserahkan kepada Teachings of The Buddha Series dari Wisdom Publication. Banyak yang telah membaca karya-karya yang lebih besar ini memberitahu saya, yang memuaskan saya, bahwa terjemahan itu menghidupkan sutta-sutta itu bagi mereka. Namun orang-orang lain yang sungguh-sungguh berusaha memasuki samudera dalam Nikāya-nikāya memberitahu saya sesuatu yang lain. Mereka mengatakan bahwa walaupun bahasa dalam terjemahan itu jauh lebih memudahkan mereka daripada terjemahan-terjemahan terdahulu, namun mereka masih bergulat untuk menemukan sudut pandang dari mana mereka melihat keseluruhan struktur dari sutta-sutta tersebut, suatu kerangka yang di dalamnya sutta-sutta itu cocok satu sama lain. Nikāya-nikāya itu sendiri tidak banyak membantu dalam hal ini, karena pengaturannya – dengan pengecualian khusus pada Saṃyutta Nikāya, yang memiliki struktur tematik – tampak nyaris serampangan. Dalam serangkaian kuliah yang saya mulai di Bodhi Monastery di New Jersey pada bulan Januari 2003, saya memikirkan suatu skema saya sendiri untuk mengatur isi dari Majjhima Nikāya. Skema ini menyingkapkan pesan Sang Buddha secara progresif, dari yang sederhana hingga yang sulit, dari yang mendasar hingga yang mendalam. Dalam merenungkan hal ini, saya melihat bahwa skema ini dapat diterapkan bukan hanya pada Majjhima Nikāya, tetapi juga pada keempat Nikāya secara keseluruhan. Buku sekarang ini mengatur sutta-sutta pilihan dari seluruh empat Nikāya dalam kerangka tematik dan progresifnya. Buku ini ditujukan kepada dua jenis pembaca. Yang pertama adalah mereka yang masih belum terbiasa dengan khotbah-khotbah Sang Buddha yang membutuhkan suatu pendahuluan sistematis. Bagi pembaca-pembaca ini, Nikāya-nikāya tampak kabur. Seluruh keempatnya, dilihat sekaligus, mungkin terlihat seperti belantara – kusut dan membingungkan, penuh dengan binatang buas yang tidak dikenali – atau seperti samudera raya – luas, hingar-bingar, dan menakutkan. Saya harap buku ini dapat berfungsi sebagai peta untuk membantu mereka melintasi jalan menembus belantara sutta-sutta atau sebagai sebuah kapal yang kokoh untuk membawa mereka menyeberangi samudera Dhamma. Jenis pembaca ke dua yang kepada mereka buku ini ditujukan adalah mereka, yang telah terbiasa dengan sutta-sutta, yang masih tidak dapat melihat bagaimana sutta-sutta itu cocok dalam suatu rangkaian menyeluruh yang dapat dipahami. Bagi pembaca-pembaca ini, sutta-sutta terpisah mungkin dapat dipahami secara terpisah, namun teks-teks tersebut secara keseluruhan tampak seperti potongan-potongan teka-teki menyusun gambar yang berserakan di atas meja. Begitu seseorang memahami skema buku ini, maka ia akan memiliki gagasan atas arsitektur ajaran. Kemudian, dengan sedikit perenungan, maka ia akan dapat menentukan tempat di mana sutta itu berlokasi dalam gudang Dhamma, apakah termasuk dalam antologi ini atau tidak. Antologi ini, atau antologi sutta-sutta lainnya, bukanlah pengganti Nikāya-nikāya. Harapan saya ada dua, bersesuaian dengan kedua jenis pembaca yang kepada mereka buku itu dirancang 1 bahwa para pendatang baru pada literatur Buddhisme Awal menjadi lebih tertarik dan terdorong untuk terjun ke dalam Nikāya-nikāya lengkap; dan 2 bahwa para pembaca Nikāya-nikāya yang berpengalaman menyelesaikan buku ini dengan pemahaman yang lebih baik atas materi-materi yang telah mereka kuasai. Jika antologi ini dimaksudkan untuk memberikan poin lain lagi, ini adalah untuk menyampaikan luasnya kebijaksanaan Sang Buddha. Walaupun kadang-kadang Buddhisme Awal digambarkan sebagai suatu disiplin melepaskan keduniawian yang ditujukan khususnya kepada para petapa, namun khotbah-khotbah tua dari Kanon Pāli menunjukkan bahwa kebijaksanaan dan belas kasihan Sang Buddha menjangkau hingga ke kedalaman kehidupan duniawi, memberikan tuntunan berperilaku yang baik dan pemahaman benar kepada orang-orang biasa. Bukannya menjadi suatu sumpah bagi elit monastik, Buddhisme kuno juga terlibat dalam kolaborasi erat para perumah-tangga dengan kaum monastik dalam tugas ganda memelihara ajaran-ajaran Buddha dan saling membantu satu sama lain dalam usaha mereka untuk menapaki jalan menuju padamnya penderitaan. Untuk memenuhi tugas-tugas ini dengan penuh makna, Dhamma harus memberikan tuntunan, inspirasi, kegembiraan, dan penghiburan yang mendalam dan tidak habis-habisnya kepada mereka. Dhamma tidak akan pernah memenuhi hal ini jika tidak secara langsung memicu usaha sungguh-sungguh mereka untuk menggabungkan kewajiban sosial dan keluarga dengan cita-cita untuk mencapai yang tertinggi. Hampir seluruh paragraf yang termasuk dalam buku ini dipilih dari empat Nikāya yang disebutkan di atas. Hampir seluruhnya telah mengalami revisi, biasanya kecil tapi kadang-kadang besar, untuk menyesuaikan dengan evolusi pemahaman saya atas teks-teks dan bahasa Pāli. Saya memiliki sejumlah kecil sutta dari Aṅguttara Nikāya yang tidak termasuk dalam antologi yang disebutkan di atas. Saya juga telah memasukkan beberapa sutta dari Udāna dan Itivuttaka, dua buku kecil dari Nikāya ke lima, Khuddaka Nikāya, koleksi kecil atau bunga rampai. Saya mendasarkan ini atas terjemahan John D. Ireland, yang diterbitkan oleh Buddhist Publication Society di Sri Lanka, tetapi sekali lagi saya telah dengan bebas menyesuaikannya dengan gaya bahasa dan terminologi yang saya sukai. Saya memprioritaskan sutta-sutta dalam bentuk prosa daripada syair, karena lebih langsung dan eksplisit. Jika sebuah sutta ditutup dengan syair-syair, jika syair-syair itu hanya mengulangi prosa sebelumnya, maka untuk menghemat tempat, saya mengabaikannya. Tiap-tiap bab dimulai dengan pendahuluan yang mana saya menjelaskan konsep yang menonjol yang relevan dengan tema bab tersebut dan berusaha untuk menunjukkan bagaimana teks-teks yang saya pilih memberikan contoh pada tema itu. Untuk menjelaskan hal-hal yang muncul baik dari pendahuluan maupun dari teks-teks, saya telah mencantumkan catatan kaki. Catatan-catatan ini sering kali diambil dari komentar klasik pada Nikāya-nikāya yang diduga berasal dari komentator besar India Selatan bernama Ācariya Buddhaghosa, yang bekerja di Sri Lanka pada abad ke lima Masehi. Demi keringkasan, saya tidak mencantumkan catatan sebanyak yang saya berikan pada terjemahan Nikāya lainnya. Catatan-catatan itu juga tidak se-teknis yang terdapat pada terjemahan lengkap. Rujukan-rujukan pada sumber tercantum pada tiap-tiap pilihan. Rujukan-rujukan pada teks-teks dari Dīgha Nikāya dan Majjhima Nikāya mencantumkan nomor dan nama sutta dalam Pāli; paragraf-paragraf dari dua koleksi ini mempertahankan nomor paragraf yang digunakan dalam The Long Discourses of the Buddha dan The Middle Length Discourses of the Buddha, agar pembaca yang ingin menemukan paragraf-paragraf ini dalam terjemahan lengkapnya dapat dengan mudah melakukannya. Rujukan-rujukan teks dari Saṃyutta Nikāya mencantumkan saṃyutta dan nomor sutta; teks-teks dari Aṅguttara Nikāya mencantumkan nipāta dan nomor sutta Yang Satu dan Yang Dua juga mencantumkan bab-bab di dalam nipāta diikuti dengan nomor sutta. Rujukan-rujukan pada teks-teks dari Udāna mencantumkan nipāta dan nomor sutta; teks-teks dari Itivuttaka hanya mencantumkan nomor sutta. Semua rujukan diikuti dengan nomor buku dan nomor halaman dalam edisi standar Pali Text Society atas buku-buku ini. Saya berterima kasih kepada Timothy McNeill dan David Kittelstrom dari Wisdom Publications karena mendorong saya untuk tetap melanjutkan proyek ini dalam periode panjang kesehatan yang buruk. Sāmaṇera Anālayo dan Bhikkhu Nyanasobhano yang membaca dan mengomentari pendahuluan saya, dan John Kelly yang memeriksa keseluruhan buku. Mereka bertiga memberikan saran-saran, yang sangat membantu. John Kelly juga mempersiapkan tabel sumber yang terdapat pada bagian akhir buku ini. Akhirnya, saya berterima kasih kepada para murid-murid saya dalam pembelajaran Pāli dan Dhamma di Bodhi Monastery atas semangat dan ketertarikan mereka dalam ajaran-ajaran dari Nikāya-nikāya, yang menginspirasi saya untuk menyusun antologi ini. Saya secara khusus berterima kasih pada pendiri vihara yang luar biasa, Yang Mulia Master Jen-Chun, atas sambutannya pada aliran Buddhis lain ke viharanya dan atas ketertarikannya dalam menjembatani transmisi ajaran-ajaran Buddhis Awal Utara dan Selatan. Bhikkhu Bodhi Pendahuluan Umum Menyingkap Struktur Ajaran Walaupun ajaran Beliau adalah sangat sistematis, namun tidak ada satu teks pun yang dapat dianggap berasal dari Sang Buddha yang dengannya Beliau mendefinisikan arsitektur Dhamma, perancah yang di atasnya Beliau membingkai ungkapan spesifik dari doktrin. Dalam perjalanan panjang pengajaranNya, Sang Buddha mengajarkan dalam berbagai cara sesuai situasi dan kondisi. Kadang-kadang Beliau menjelaskan prinsip-prinsip tanpa kecuali yang berdiri di jantung ajaran. Kadang-kadang Beliau akan menyesuaikan ajaran dengan watak dan kecenderungan orang-orang yang mendatanginya untuk mendapatkan bimbingan. Kadang-kadang Beliau akan mengatur pembabaranNya agar sesuai dengan situasi yang menuntut suatu jawaban tertentu. Tetapi di sepanjang koleksi teks ini sampai kepada kita sebagai “Kata-kata Sang Buddha,” “yang otentik,” kita tidak menemukan satu sutta, satu khotbah, di mana Sang buddha mengumpulkan semua unsur-unsur ajaranNya dan menempatkannya pada tempat tertentu dalam suatu sistem yang komprehensif. Walaupun dalam suatu budaya literatur di mana pemikiran sistematis sangat dijunjung tinggi, maka ketiadaan teks yang berfungsi sebagai kesatuan demikian dapat dipandang sebagai suatu cacat, dalam suatu budaya lisan sepenuhnya – seperti budaya di mana Sang Buddha hidup dan berkelana – ketiadaan kunci yang menjelaskan Dhamma nyaris tidak dianggap sebagai suatu hal yang penting. Dalam budaya ini baik guru maupun murid tidak bertujuan untuk memiliki sistem ide-ide yang lengkap; murid-muridnya tidak berkeinginan untuk mempelajari sistem ide-ide yang lengkap. Tujuan yang menyatukannya dalam proses pembelajaran – proses transmisi – adalah latihan praktis, transformasi-diri, dan penembusan kebenaran, dan kebebasan pikiran yang tidak tergoyahkan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ajaran selalu berguna dalam segala situasi. Ada kalanya Sang Buddha menyajikan pandangan-pandangan yang lebih luas dari Dhamma yang menyatukan banyak komponen sang jalan dalam struktur mencakup bidang yang luas dan bertingkat. Tetapi walaupun terdapat beberapa khotbah yang memperlihatkan cakupan yang luas, namun masih belum merangkul semua unsur Dhamma dalam satu skema terpusat. Tujuan dari buku ini adalah untuk mengembangkan dan memberikan contoh pada skema demikian. Di sini saya mencoba untuk memberikan suatu gambaran komprehensif dari ajaran Sang Buddha yang menggabungkan berbagai sutta ke dalam suatu struktur organik. Struktur ini, saya harap, akan menjelaskan pola yang mendasari formulasi Sang Buddha pada Dhamma dan dengan demikian memberikan kepada pembaca suatu tuntunan untuk memahami Buddhisme Awal secara keseluruhan. Saya memilih sutta-sutta yang hampir seluruhnya berasal dari empat koleksi utama atau Nikāya dari Kanon Pāli, walaupun saya juga memasukkan sedikit teks dari Udāna dan Itivuttaka, dua buku kecil dari koleksi ke lima, Khuddaka Nikāya. Masing-masing bab dimulai dengan pendahuluannya masing-masing, yang mana saya menjelaskan konsep dasar Buddhisme Awal yang dijelaskan dalam teks-teks dan menunjukkan bagaimana teks-teks ini mengungkapkan ekspresinya pada ide-ide ini. Saya akan secara singkat memberikan informasi latar belakang tentang Nikāya-nikāya dalam pendahuluan masing-masing bab. Akan tetapi, pertama-tama, saya ingin menggambarkan skema yang telah saya rencanakan untuk mengorganisasi sutta-sutta. Walaupun penggunaan khusus skema ini mungkin masih asli, namun bukan suatu inovasi penting melainkan berdasarkan pada tiga pembedaan yang dilakukan oleh komentar-komentar Pāli pada jenis-jenis manfaat yang dicapai melalui praktik Dhamma 1 kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan ini; 2 kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupan mendatang; dan 3 kebaikan tertinggi, Nibbāna Skt nirvāṇa. Tiga bab pertama dirancang untuk menuntun mereka yang menganut skema tiga ini. Bab I adalah suatu pengamatan pada kondisi manusia terlepas dari munculnya seorang Buddha di dunia ini. Mungkin hal ini adalah jalan kehidupan manusia yang terlihat oleh Bodhisatta – Calon Buddha – ketika Beliau berdiam di alam surga Tusita memandang ke bumi, menunggu saat yang tepat untuk turun dan menjalani kelahiran terakhirNya. Kita melihat sebuah dunia di mana makhluk-makhluk hidup tanpa daya didorong menuju penuaan dan kematian; yang mana mereka diputar oleh situasi sehingga ditindas oleh kesakitan jasmani, dijatuhkan oleh kegagalan dan kemalangan, dicemaskan dan ditakuti oleh perubahan dan kemunduran. Ini adalah dunia di mana orang-orang ingin hidup damai, tetapi juga di mana emosi liar mereka berulang kali memaksa mereka, melawan penilaian baik mereka, beradu dalam konflik yang meningkat menjadi kekerasan dan kehancuran massal. Akhirnya, dengan mengambil pandangan yang terluas dari semua ini, dunia ini adalah di mana makhluk-makhluk hidup bergerak maju, oleh ketidak-tahuan dan ketagihan mereka sendiri, dari satu kehidupan ke kehidupan berikutnya, mengembara secara membuta melalui lingkaran kembali yang disebut saṃsāra. Bab II mengisahkan tentang turunnya Sang Buddha ke dunia ini. Beliau datang sebagai “seseorang” yang muncul demi belas kasihan kepada dunia, yang kemunculanNya ke dunia ini adalah “manifestasi dari cahaya agung.” Kita mengikuti kisah konsepsi dan kelahiranNya, pelepasan keduniawian dan pencarianNya akan pencerahan, penembusannya pada Dhamma, dan keputusanNya untuk mengajar. Bab ini ditutup dengan khotbah pertama Beliau kepada lima bhikkhu, para siswa pertamaNya, di Taman Rusa di dekat Bārāṇasi. Bab III dimaksudkan untuk memberikan sketsa pada ciri khusus ajaran Buddha dan dengan menyimpulkan, sikap yang dengannya seorang siswa yang prospektif seharusnya mendatangi ajaran. Teks-teks itu memberitahukan kepada kita bahwa Dhamma bukanlah suatu rahasia atau ajaran esoteris melainkan sesuatu yang “bersinar ketika diajarkan secara terbuka.” Ajaran ini tidak menuntut keyakinan membuta dalam kitab-kitab otoriter, dalam rahasia-rahasia surgawi, atau dogma-dogma tidak sempurna, tetapi mengundang penyelidikan dan menarik untuk dialami secara pribadi sebagai kriteria tertinggi untuk menentukan validitasnya. Ajaran ini berkenaan dengan muncul dan lenyapnya penderitaan, yang dapat diamati dalam pengalaman pribadi seseorang. Ajaran ini bahkan tidak menempatkan Sang Buddha sebagai otoritas yang tanpa cela tetapi mengundang kita untuk memeriksa Beliau untuk menentukan apakah Beliau sepenuhnya layak untuk mendapatkan kepercayaan dan keyakinan kita. Akhirnya, ajaran ini menawarkan prosedur langkah demi langkah yang mana kita dapat menguji ajaran ini, dan dengan melakukannya kita dapat menembus kebenaran mutlak itu untuk kita sendiri. Dengan bab IV, kita sampai pada teks-teks yang membahas tentang yang pertama dari tiga jenis manfaat yang dibawa oleh ajaran Buddha. Ini disebut “kesejahteraan dan kebahagiaan yang terlihat dalam kehidupan ini” diṭṭhadhamma-hitasukha, kebahagiaan yang dihasilkan dari mengikuti norma-norma etis dalam hubungan kekeluargaan, penghidupan, dan aktivitas-aktivitas komunal. Walaupun Buddhisme Awal sering kali digambarkan sebagai suatu disiplin meninggalkan keduniawian yang radikal yang diarahkan pada tujuan transendental, namun Nikāya-nikāya mengungkapkan Sang Buddha sebagai seorang guru yang penuh belas kasihan dan pragmatis yang berniat untuk memajukan tatanan sosial di mana masyarakat dapat hidup bersama dengan damai dan harmonis sesuai dengan pedoman etis. Aspek dari Buddhisme Awal ini jelas dalam ajaran Buddha tentang tugas-tugas anak kepada orang tuanya, tentang kewajiban timbal balik antara suami dan istri, tentang penghidupan benar, tentang tugas-tugas penguasa terhadap subjeknya, dan tentang prinsip-prinsip keharmonisan dan penghormatan komunal. Jenis manfaat ke dua ke arah mana ajaran Buddha menuntun adalah topik dari Bab V, yang disebut kesejahteraan dan kebahagiaan yang berhubungan dengan kehidupan mendatang samparāyika-hitasukha. Ini adalah kebahagiaan yang dicapai dengan memperoleh kelahiran kembali dan keberhasilan yang menguntungkan dalam kehidupan-kehidupan mendatang melalui akumulasi jasa seseorang. Kata “jasa” puñña merujuk pada kamma Skt karma bermanfaat yang diartikan dalam hal kapasitasnya dalam menghasilkan akibat-akibat yang menyenangkan di dalam lingkaran kelahiran kembali. Saya memulai bab ini dengan pilihan sutta-sutta tentang ajaran kamma dan kelahiran kembali. Hal ini mengarahkan kita pada teks-teks umum tentang gagasan jasa, diikuti oleh sutta-sutta pilihan tentang tiga “landasan jasa” utama yang dikenali dalam khotbah-khotbah Sang Buddha memberi dāna, disiplin moral sīla, dan meditasi bhāvanā. Karena meditasi muncul secara menonjol dalam jenis manfaat ke tiga, maka jenis meditasi yang ditekankan di sini, sebagai suatu landasan jasa, adalah yang produktif menghasilkan buah berlimpah, yaitu empat “kediaman brahma” brahmavihāra, khususnya pengembangan cinta kasih. Bab VI adalah bab transisi, dimaksudkan untuk mempersiapkan jalan bagi bab-bab selanjutnya. Sambil mendemonstrasikan bahwa praktik ajaran Beliau sesungguhnya mengarah menuju kebahagiaan dan keberuntungan di dalam cakupan kehidupan duniawi, untuk membimbing orang-orang melampaui cakupan ini, Sang Buddha mengungkapkan bahaya dan kelemahan dari segala kehidupan terkondisi. Beliau menunjukkan cacat dalam kenikmatan indria, kekurangan dalam keberhasilan material, kematian yang tidak dapat dihindari, dan ketidak-kekalan dari segala alam makhluk-makhluk terkondisi. Untuk membangkitkan dalam diri para siswaNya suatu aspirasi pada kebaikan tertinggi, Nibbāna, Sang Buddha berulang-ulang menekankan bahaya saṃsāra. Demikianlah bab ini sampai pada puncaknya dengan dua teks dramatis yang berkisar tentang kesengsaraan karena diperbudak oleh lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Empat bab berikutnya dikhususkan untuk manfaat ke tiga yang dibawa oleh Ajaran Buddha kebaikan tertinggi paramattha, pencapaian Nibbāna. Yang pertama, Bab VII, memberikan tinjauan umum pada jalan menuju kebebasan, yang diperlakukan secara analitis melalui definisi faktor-faktor Jalan Mulia Berunsur Delapan dan secara dinamis melalui kisah perjalanan latihan bhikkhu. Sepanjang sutta tentang jalan bertahap menelusuri latihan monastik dari sejak bhikkhu ditahbiskan ketika ia meninggalkan keduniawian hingga pencapaiannya pada Kearahantaan, tujuan akhir. Bab VIII berfokus pada menjinakkan pikiran, penekanan utama pada latihan monastik. Di sini saya menyajikan teks-teks yang membahas rintangan-rintangan pengembangan batin, alat untuk mengatasi rintangan-rintangan ini, metode-metode meditasi yang berbeda-beda, dan kondisi-kondisi yang harus dicapai ketika rintangan-rintangan ini telah teratasi dan sang siswa telah menguasai pikirannya. Dalam bab ini saya memperkenalkan perbedaan antara samatha dan vipassana, ketenangan dan pandangan terang, yang satu mengarah pada samādhi atau konsentrasi, yang lain mengarah pada paññā atau kebijaksanaan. Akan tetapi, saya memasukkan teks-teks yang memperlakukan pandangan terang hanya dalam hal metode-metode yang digunakan untuk menghasilkannya, bukan dalam hal kandungan sesungguhnya. Bab IX, berjudul “Menyalakan Cahaya Kebijaksanaan,” membahas kandungan yang terdapat dalam pandangan terang. Bagi Buddhisme Awal, dan sebenarnya bagi hampir semua aliran Buddhisme, pandangan terang atau kebijaksanaan adalah alat utama bagi kebebasan. Demikianlah dalam bab ini saya berfokus pada ajaran Sang Buddha tentang topik ini yang sangat penting bagi pengembangan kebijaksanaan sebagai pandangan benar, kelima kelompok unsur kehidupan, keenam landasan indria, kedelapan belas unsur, kemunculan bergantungan, dan Empat Kebenaran Mulia. Bab ini ditutup dengan teks-teks pilihan tentang Nibbāna, tujuan utama kebijaksanaan. Tujuan akhir tidak dicapai secara tiba-tiba tetapi dengan melewati serangkaian tahapan yang mentransformasikan seseorang dari seorang kaum duniawi menjadi seorang Arahant, seorang yang terbebaskan. Demikianlah bab X, “Tingkatan Pencapaian,” menawarkan teks-teks pilihan tentang tahapan-tahapan sepanjang perjalanan. Pertama-tama saya menyajikan serangkaian tahapan sebagai urutan progresif; kemudian saya kembali ke titik awal dan memeriksa tiga titik aman utama dalam rangkaian ini memasuki-arus, tingkat yang-tidak-kembali, dan Kearahantaan. Saya menutupnya dengan pilihan sutta-sutta tentang Sang Buddha, yang terkemuka di antara para Arahant, di sini disebutkan dengan gelar yang sering Beliau gunakan ketika merujuk pada diriNya sendiri, Sang Tathāgata. Asal-Mula Nikāya-Nikāya Teks-teks yang saya ambil untuk mengisi skema saya adalah, seperti yang telah saya katakan di atas, semuanya diambil dari Nikāya-nikāya, koleksi sutta-sutta utama dari Kanon Pāli. Sedikit kata-kata diperlukan untuk menjelaskan asal-mula dan sifat dari sumber-sumber ini. Sang Buddha tidak menuliskan ajaran-ajaran ini, juga ajaran-ajaran ini tidak dicatat dalam bentuk tulisan oleh para siswaNya. Budaya India pada masa Sang Buddha hidup adalah masih sebagian besar belum mengenal Sang Buddha mengembara dari satu pemukiman ke pemukiman lain di sepanjang dataran Gangga, memberikan instruksi kepada para bhikkhu dan bhikkhunī, membabarkan khotbah kepada para perumah-tangga yang berkumpul untuk mendengarkan Beliau berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para penanya yang ingin tahu, dan terlibat dalam diskusi dengan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Catatan ajaran-ajaranNya yang kita miliki sekarang tidak datang dari penaNya sendiri atau dari catatan yang dibuat oleh mereka yang mendengarkan ajaran dari Beliau, melainkan dari konsili monastik yang diadakan setelah Beliau parinibbāna – wafatNya ke dalam Nibbāna – dengan tujuan untuk melestarikan ajaranNya. Sangat tidak mungkin bahwa ajaran-ajaran yang diturunkan dari konsili-konsili ini mereproduksi kata-kata Sang Buddha secara persis sama. Sang Buddha pasti berbicara secara spontan dan menjelaskan temanya dalam berbagai cara sebagai respon pada berbagai kebutuhan dari mereka yang memohon tuntunan dari Beliau. Melestarikan melalui penyampaian lisan dari begitu banyak material adalah nyaris mustahil. Untuk membentuk ajaran-ajaran itu dalam suatu format yang sesuai untuk pelestarian, para bhikkhu yang bertanggung jawab dalam hal teks-teks harus menyusun dan menyuntingnya untuk memudahkan dalam mendengarkan, mengingat, menghafal, dan mengulang – lima unsur utama dalam penyampaian lisan. Proses ini, yang mungkin telah dimulai pada masa kehidupan Sang Buddha, mungkin telah mengarah pada suatu tingkat penyederhanaan dan standarisasi material untuk dilestarikan. Selama masa kehidupan Sang Buddha, khotbah-khotbah dikelompokkan dalam sembilan kategori menurut jenis literatur sutta khotbah-khotbah berbentuk prosa, geyya campuran prosa dan syair, veyyākaraṇa jawaban atas pertanyaan, gāthā syair, udāna ucapan-ucapan inspiratif, itivuttaka ucapan-ucapan mengesankan, jātaka kisah-kisah kehidupan lampau, abbhutadhamma kualitas-kualitas menakjubkan, dan vedalla tanya-jawab.2 Pada suatu titik tertentu setelah wafatNya, sistem pengelompokkan lama ini tergantikan oleh suatu skema baru yang menata teks-teks dalam koleksi-koleksi yang lebih besar yang disebut Nikāya-nikāya dalam tradisi Buddhis Theravāda, Āgama dalam aliran Buddhis di India Kapan tepatnya skema Nikāya-Āgama ini menjadi suatu otoritas tidak diketahui dengan pasti, namun kemunculannya seketika menggantikan sistem lama. Cullavagga, salah satu buku dari Vinaya Piṭaka Pāli, memberikan penjelasan tentang bagaimana teks-teks yang sah disusun pada konsili Buddhis pertama, yang diselenggarakan pada tiga bulan setelah parinibbāna Sang Buddha. Menurut laporan ini, tidak lama setelah wafatnya Sang Buddha, Bhikkhu Mahākassapa, pemimpin Saṅgha secara de fakto, memilih lima ratus bhikkhu, seluruhnya Arahant atau yang telah terbebaskan, untuk berkumpul dan menyusun suatu versi ajaran-ajaran yang sah. Konsili ini memakan waktu selama masa vassa di Rājagaha sekarang Rajgir, ibukota Magadha, kelak menjadi negeri yang besar di India Pertama-tama Mahākassapa meminta Yang Mulia Upāli, yang terkemuka dalam hal-hal disiplin, untuk mengulangi Vinaya. Dengan berdasarkan pengulangan ini, Vinaya Piṭaka, kompilasi tentang Disiplin, disusun. Kemudian Mahākassapa meminta Yang Mulia Ānanda untuk mengulang “Dhamma,” yaitu, khotbah-khotbah, dan dengan berdasarkan pada pengulangan ini, Sutta Piṭaka, kompilasi khotbah-khotbah, disusun. Cullavagga menyebutkan bahwa ketika Ānanda mengulang Sutta Piṭaka, Nikāya-nikāya memiliki isi yang sama seperti yang terdapat sekarang ini, dengan sutta-sutta disusun dalam urutan yang sama seperti terdapat dalam Kanon Pāli sekarang. Narasi ini tidak diragukan mencatat sejarah masa lalu melalui lensa masa belakangan. Āgama dari aliran Buddhis selain Theravāda bersesuaian dengan empat Nikāya utama, tetapi Āgama mengelompokkan sutta-sutta secara berbeda isinya disusun dalam urutan berbeda dengan Nikāya-nikāya Pāli. Hal ini menyiratkan bahwa jika penataan Nikāya-Āgama terjadi pada konsili pertama, maka konsili belum menyusun sutta-sutta pada tempatnya dalam skema ini. Dengan kata lain, adalah mungkin bahwa skema ini muncul pada masa belakangan. Mungkin muncul pada suatu masa tertentu setelah konsili pertama tetapi sebelum Saṅgha terpecah menjadi aliran-aliran berbeda. Jika skema ini muncul pada masa pembagian sekte-sekte, maka hal ini mungkin diperkenalkan oleh salah satu aliran dan kemudian digunakan oleh aliran lainnya, sehingga aliran-aliran berbeda akan menempatkan teks-teks mereka pada tempat-tempat berbeda dalam skema ini. Walaupun kisah Cullavagga tentang konsili pertama mungkin termasuk materi legendaris yang tercampur dengan fakta historis, namun tampaknya tidak ada alasan untuk meragukan peran Ānanda dalam pelestarian khotbah-khotbah. Sebagai pelayan pribadi Sang Buddha, Ānanda telah mempelajari khotbah-khotbah dari Beliau dan dari para siswa besar lainnya, mengingatnya, dan mengajarkannya kepada orang lain. Pada masa Sang Buddha ia dipuji atas daya ingatnya dan ditunjuk sebagai ”yang terunggul di antara mereka yang telah banyak belajar” etadaggaṃ bahussutānaṃ.5 Sedikit bhikkhu yang mungkin memiliki ingatan yang menyamai ingatan Ānanda, tetapi pada kehidupan Sang Buddha masing-masing bhikkhu pasti telah mulai menguasai teks tertentu. Standarisasi dan penyederhanaan materi mungkin telah mempermudah penghafalan mereka. Begitu teks-teks dikelompokkan menjadi Nikāya-nikāya atau Āgama, tantangan pelestarian dan penyampaian warisan tekstual terpecahkan dengan pengaturan para ahli tekstual dalam kelompok-kelompok yang khusus mempelajari koleksi tertentu. Dengan demikian kelompok-kelompok berbeda dalam Saṅgha dapat berfokus pada penghafalan dan penginterpretasian koleksi-koleksi berbeda dan komunitas secara keseluruhan dapat menghindari penugasan berlebihan pada ingatan para bhikkhu secara individu. Adalah dengan cara ini ajaran-ajaran dapat terus diturunkan selama tiga atau empat ratus tahun berikutnya, hingga akhirnya Dalam abad-abad setelah wafatnya Sang Buddha, Saṅgha menjadi terpecah dalam hal-hal disiplin maupun doktrin hingga pada abad ke tiga setelah parinibbāna terdapat setidaknya delapan belas aliran Buddhisme. Masing-masing sekte mungkin memiliki koleksi teks masing-masing yang dianggap sebagai kanonis, walaupun adalah mungkin bahwa beberapa sekte yang berhubungan dekat berbagi koleksi teks sah yang sama. Walaupun aliran-aliran Buddhis berbeda mungkin menyusun koleksi mereka dengan cara berbeda dan walaupun sutta-sutta mereka memperlihatkan perbedaan-perbedaan dalam detil-detilnya, namun masing-masing sutta sering kali serupa, kadang-kadang bahkan nyaris identik, dan doktrin-doktrin dan praktik yang digambarkan pada intinya adalah Perbedaan doktrin antar aliran tidak muncul dari sutta-sutta itu sendiri melainkan dari interpretasi dari para ahli tekstual yang mempengaruhinya. Perbedaan demikian yang diperkuat setelah aliran-aliran saingan memformulasikan prinsip-prinsip filosofis mereka dalam naskah-naskah dan komentar-komentar yang menunjukkan sudut pandang yang membedakan pada hal-hal doktrin. Sejauh yang dapat kita tentukan, sistem filosofis yang telah diperhalus hanya sedikit mempengaruhi teks aslinya, yang aliran-aliran itu sepertinya enggan untuk mengubahnya untuk menyesuaikan dengan agenda doktrin mereka. Sebaliknya, melalui komentar-komentar, mereka berusaha untuk menginterpretasikan sutta-sutta sedemikian untuk menarik keluar ide-ide yang mendukung pandangan mereka. Tidaklah lazim bagi interpretasi-interpretasi demikian untuk tampil defensif dan terencana, membela diri melawan kata-kata dari teks aslinya. Kanon Pāli Yang menyedihkan, koleksi kanonis milik sebagian besar aliran besar Buddhisme Awal India telah hilang ketika Buddhisme India dihancurkan oleh Muslim yang menyerbu India Utara pada abad ke sebelas dan dua belas. Penyerbuan ini secara efektif mendentangkan lonceng kematian bagi Buddhisme di tanah kelahirannya. Hanya satu koleksi teks milik salah satu aliran Buddhis India yang berhasil diselamatkan. Koleksi ini dilestarikan dalam bahasa yang kita kenal sebagai Pāli. Koleksi ini milik aliran Theravāda kuno, yang telah dicangkokkan ke Sri Lanka pada abad ke tiga sebelum Masehi, dan dengan demikian berhasil selamat dari malapetaka yang dialami Buddhisme di tanah kelahirannya. Pada waktu yang kurang lebih sama, Theravāda juga menyebar ke Asia Tenggara dan selama abad-abad berikutnya menjadi berkembang di seluruh wilayah itu. Kanon Pāli adalah koleksi teks yang dianggap oleh Theravāda sebagai kata-kata Sang Buddha buddhavacana. Fakta bahwa teks-teks dalam koleksi ini selamat sebagai sebuah kanon tunggal bukan berarti bahwa teks-teks ini berasal dari periode yang sama; juga bukan berarti bahwa teks-teks ini membentuk titik pangkal kuno yang pasti lebih tua daripada padanannya dari aliran Buddhis lainnya, yang banyak berhasil diselamatkan dalam bahasa China atau Tibet sebagai bagian dari keseluruhan kanon atau, dalam beberapa kasus, sebagai teks terpisah dalam Bahasa India lainnya. Meskipun demikian, Kanon Pāli sangat penting bagi kita setidaknya untuk tiga alasan. Pertama, ini adalah sebuah koleksi lengkap yang seluruhnya berasal dari satu aliran tunggal. Walaupun kita dapat mendeteksi gambaran nyata dari pengembangan historis antara bagian-bagian berbeda dari kanon, penyejajaran ini dengan sebuah aliran tunggal memberikan suatu tingkat keseragaman tertentu pada teks-teks ini. Di antara teks-teks yang berakar dari periode yang sama, kita bahkan dapat menyebutkan kesamaan isinya, suatu rasa tunggal yang mendasari banyak ungkapan dalam doktrin. Kesamaan ini jelas terlihat dalam empat Nikāya dan bagian-bagian lebih tua dari Nikāya ke lima dan memberikan kepada kita alasan untuk mempercayai bahwa teks-teks ini – mengizinkan kualifikasi yang dinyatakan di atas, bahwa teks-teks tersebut memiliki padanan dalam aliran-aliran Buddhis lainnya yang telah punah – kita dapat mencapai lapisan tertua dari literatur Buddhis yang dapat ditemukan. Ke dua, keseluruhan koleksi telah dilestarikan dalam Bahasa Indo Arya Tengah, salah satu yang sangat dekat hubungannya atau, mungkin juga, berbagai dialek religius bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha. Kita menyebut bahasa ini sebagai Pāli, tetapi nama untuk bahasa ini sesungguhnya muncul dari kesalah-pahaman. Kata pāli sesungguhnya berarti “teks,” yaitu, teks kanonis yang dibedakan dengan komentar-komentar. Komentator-komentator merujuk pada bahasa yang digunakan untuk melestarikan teks itu sebagai pālibhāsā, “bahasa dari teks-teks.” Pada suatu titik tertentu, kata itu disalahpahami sebagai “Bahasa Pāli,” dan begitu kesalah-pahaman muncul, hal itu menjadi berakar dan kita gunakan sejak itu. Para cendikiawan menganggap bahasa ini sebagai suatu bahasa campuran yang menunjukkan ciri-ciri dari beberapa dialek Prakrit yang digunakan sekitar abad ke tiga sebelum Masehi, yang mengalami sebagian proses Walaupun bahasa ini tidak identik dengan bahasa yang digunakan oleh Sang Buddha sendiri, namun bahasa ini adalah bagian dari keluarga besar bahasa yang sama seperti yang Beliau gunakan dan berasal dari matriks konseptual yang sama. Dengan demikian bahasa ini mencerminkan dunia-pemikiran yang diwarisi Sang Buddha dari budaya India yang lebih luas di mana Beliau dilahirkan, sehingga kata-katanya menangkap nuansa halus yang tidak terhindarkan bahkan dalam terjemahan yang paling teliti sekali pun. Alasan ke tiga pentingnya Kanon Pāli adalah bahwa koleksi ini merupakan otoritas bagi aliran Buddhis masa kini. Tidak seperti koleksi-koleksi tekstual dari aliran-aliran Buddhisme Awal yang telah punah, yang hanya menarik bagi kalangan akademis, koleksi-koleksi ini masih sarat dengan kehidupan. Koleksi ini menginspirasi keyakinan jutaan Buddhis dari desa-desa dan vihara-vihara di Sri Lanka, Myanmar, dan Asia Tenggara hingga kota-kota dan pusat-pusat meditasi di Eropa dan Amerika. Koleksi ini membentuk pemahaman mereka, membimbing mereka dalam menghadapi pilihan-pilihan etis yang sulit, menuntun praktik meditasi mereka, dan menawarkan kepada mereka kunci menuju pandangan cerah yang membebaskan. Kanon Pāli umumnya dikenal sebagai Tipiṭaka, “Tiga Keranjang” atau “Tiga Kompilasi.” Tiga pengelompokan ini tidak hanya berlaku pada aliran Theravāda tetapi juga menjadi penggunaan umum di antara aliran-aliran Buddhis India sebagai cara untuk mengelompokkan teks-teks kanonis Buddhis. Bahkan pada masa kini kitab-kitab yang dilestarikan dalam terjemahan Bahasa China dikenal sebagai Tripiṭaka China. Ketiga kompilasi Kanon Pāli ini adalah Vinaya Piṭaka, Kompilasi Disiplin, yang berisikan aturan-aturan yang ditetapkan sebagai tuntunan bagi para bhikkhu dan bhikkhunī dan peraturan-peraturan yang ditetapkan demi kerukunan kelompok monastik. Sutta Piṭaka, Kompilasi Khotbah-khotbah, yang berisikan sutta-sutta, khotbah-khotbah Sang Buddha dan para siswa serta karya-karya inspirasional dalam syair, syair narasi, dan karya-karya tertentu yang bersifat komentar. Abhidhamma Piṭaka, Kompilasi Filosofis, sebuah koleksi yang terdiri dari tujuh naskah yang bertemakan ajaran-ajaran Buddha dalam sistematisasi filosofis terperinci. Abhidhamma Piṭaka jelas adalah produk dari tahap evolusi pemikiran Buddhis yang lebih belakangan daripada kedua Piṭaka lainnya. Versi Pāli yang mewakili aliran Theravāda mencoba mensistematisasikan ajaran-ajaran tua. Aliran-aliran awal lainnya jelas memiliki sistem Abhidhamma mereka sendiri. Sistem Sarvāstivāda adalah satu-satunya yang teks kanonisnya selamat dan utuh secara keseluruhan. Koleksi kanonisnya, seperti halnya versi Pāli, juga terdiri dari tujuh naskah. Teks-teks ini aslinya disusun dalam Sanskrit tetapi dilestarikan sepenuhnya hanya dalam terjemahan China. Sistem yang mereka definisikan jauh berbeda dengan padanan Theravāda baik dalam hal formulasi maupun filosofi. Sutta Piṭaka, yang mengandung catatan-catatan khotbah-khotbah dan pembahasan Sang Buddha, terdiri dari lima koleksi yang disebut Nikāya-nikāya. Pada masa komentator Nikāya-nikāya ini juga disebut sebagai Āgama-āgama, seperti halnya padanannya dalam Buddhisme utara. Keempat Nikāya utama adalah Dīgha Nikāya Koleksi Khotbah-khotbah Panjang, tiga puluh empat sutta yang disusun dalam tiga vagga, atau buku. Majjhima Nikāya Koleksi Khotbah-khotbah Menengah, 152 sutta yang disusun dalam tiga vagga. Saṃyutta Nikāya Koleksi Khotbah-khotbah Berkelompok, hampir 3000 sutta pendek yang dikelompokkan dalam lima puluh enam bab atau saṃyutta, yang disusun dalam lima vagga. Aṅguttara Nikāya Koleksi Khotbah-khotbah Bernomor atau mungkin, “Khotbah-khotbah Menaik”, kurang lebih 2,400 sutta-sutta pendek yang disusun dalam sebelas bab, yang disebut nipāta. Dīgha Nikāya dan Majjhima Nikāya, sekilas, tampak dibentuk secara prinsip menurut landasan panjangnya khotbah-khotbah panjang masuk ke dalam Dīgha, khotbah-khotbah dengan panjang menengah masuk ke dalam Majjhima. Akan tetapi, dengan pengamatan teliti pada isinya, terlihat faktor lain yang mungkin mendasari perbedaan kedua koleksi ini. Sutta-sutta dalam Dīgha Nikāya terutama ditujukan kepada para pendengar umum dan tampaknya dimaksudkan untuk menarik potensi pengalihan keyakinan kepada ajaran dengan mendemonstrasikan keunggulan Sang Buddha dan doktrinNya. Sutta-sutta dalam Majjhima Nikāya terutama ditujukan ke dalam kepada komunitas Buddhis dan tampaknya dirancang untuk memperkenalkan para bhikkhu yang baru ditahbiskan dengan doktrin-doktrin dan praktik-praktik Hal ini tetap menjadi pertanyaan apakah tujuan-tujuan pragmatis ini merupakan kriteria penentu dibalik kedua Nikāya ini atau apakah kriteria utama adalah panjangnya, dengan tujuan-tujuan pragmatis ini mengikuti sebagai konsekuensi yang tidak disengaja dari perbedaan panjangnya itu. Saṃyutta Nikāya disusun menurut topik. Masing-masing topik adalah “gandar” saṃyoga yang menghubungkan khotbah-khotbah itu ke dalam saṃyutta atau bab. Karena itulah maka judul koleksi itu dinamakan “khotbah-khotbah yang berhubungan saṃyutta.” Buku pertama, buku syair-syair, adalah unik karena disusun berdasarkan pada jenis kesusasteraan. Buku ini terdiri dari sutta-sutta campuran prosa dan syair, disusun dalam sebelas bab sesuai topik. Keempat buku lainnya masing-masing terdiri dari bab-bab panjang yang membahas doktrin-doktrin prinsipil dari Buddhisme Awal. Buku II, III, dan IV masing-masing dimulai dengan bab panjang yang khusus membahas topik yang paling penting, berturut-turut adalah, kemunculan bergantungan bab 12 Nidānasaṃyutta; kelima kelompok unsur kehidupan bab 22 Khandhasaṃyutta; dan enam landasan internal dan eksternal bab 35 Saḷāyatanasaṃyutta. Bagian V membahas kelompok-kelompok prinsipil tentang faktor-faktor latihan yang, dalam periode pasca-kanonik, disebut sebagai tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan bodhipakkhiyā dhammā. Ini termasuk Jalan Mulia Berunsur Delapan bab 45 Maggasaṃyutta, tujuh faktor pencerahan bab 46 Bojjhaṅgasaṃyutta, dan empat penegakan perhatian bab 47 Satipaṭṭhānasaṃyutta. Dari isinya, kita dapat menyimpulkan bahwa Saṃyutta Nikāya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan kedua kelompok monastik. Satu terdiri dari para ahli doktrin, para bhikkhu dan bhikkhunī yang mengeksplorasi dalamnya implikasi Dhamma dan menjelaskannya kepada teman-temannya dalam kehidupan religius. Yang lainnya terdiri dari mereka yang menekuni pengembangan meditasi pandangan terang. Aṅguttara Nikāya disusun menurut skema penomoran yang diturunkan dari ciri khas metode pengajaran Sang Buddha. Untuk memudahkan pemahaman dan penghafalan, Sang Buddha sering kali memformulasikan khotbah-khotbahNya melalui kelompok bernomor, sebuah format yang membantu untuk memastikan bahwa ide-ide yang Beliau sampaikan dapat dengan mudah diingat. Aṅguttara Nikāya mengumpulkan khotbah-khotbah bernomor ke dalam suatu karya besar yang terdiri dari sebelas nipāta atau bab, masing-masing mewakili jumlah poin yang membentuk kerangka sutta-sutta tersebut. Demikianlah ada Bab tentang Yang Satu ekakanipāta, Bab tentang Yang Dua dukanipāta, Bab tentang Yang Tiga Tikanipāta, dan seterusnya, hingga ditutup dengan Bab tentang Yang Sebelas ekādasanipāta. Karena berbagai kelompok faktor sang jalan telah dijelaskan dalam Saṃyutta, maka Aṅguttara dapat berfokus pada aspek-aspek latihan yang belum termasuk dalam kelompok-kelompok pengulangan. Aṅguttara memasukkan suatu proporsi sutta-sutta penting yang ditujukan kepada umat awam yang membahas tentang urusan etika dan spiritual dalam kehidupan di dunia, termasuk hubungan keluarga suami dan istri, anak-anak dan orang tua dan cara yang benar dalam mencari, menyimpan, dan menggunakan harta kekayaan. Sutta-sutta lainnya membahas latihan praktis para bhkkhu. Penyusunan bernomor dari koleksi ini sangat memudahkan dalam hal instruksi formal, dan dengan demikian dapat dengan mudah dirujuk oleh para bhikkhu ketika mengajar murid-murid mereka dan oleh para pengkhotbah ketika memberikan khotbah kepada umat awam. Di samping empat Nikāya utama, Sutta Piṭaka Pāli juga memasukkan Nikāya ke lima, yang disebut Khuddaka Nikāya. Nama ini berarti Koleksi Minor. Mungkin awalnya terdiri dari hanya beberapa karya minor yang tidak dapat dimasukkan ke dalam empat Nikāya utama. Tetapi dengan semakin bertambahnya karya-karya selama berabad-abad dan ditambahkan ke dalamnya, maka ukurannya membengkak hingga menjadi bagian yang paling tebal di antara lima Nikāya. Akan tetapi, di jantung Khuddaka, terdapat suatu konstelasi kecil karya pendek yang disusun seluruhnya dalam bentuk syair yaitu, Dhammapada, Theragāthā, dan Therīgāthā atau campuran prosa dan syair Suttanipāta, Udāna, dan Itivuttaka yang gaya dan isinya menyiratkan bahwa buku-buku ini berasal dari masa kuno. Teks lain dari Khuddaka Nikāya – seperti Paṭisambhidāmagga dan dua Niddesa – mewakili sudut pandang aliran Theravāda dan dengan demikian pasti disusun pada masa Buddhisme Sektarian, ketika aliran-aliran awal telah mengambil jalan berbeda dari pengembangan ajaran mereka. Empat Nikāya dalam Kanon Pāli memiliki padanannya dalam Āgama dalam Tripiṭaka China, walaupun berasal dari aliran awal yang berbeda. Bersesuaian dengan masing-masing secara berturut-turut adalah Dirghāgama, mungkin berasal dari aliran Dharmaguptaka, aslinya diterjemahkan dari Prakrit; Madhyamāgama dan Samyuktāgama, keduanya berasal dari aliran Sarvātivāda dan diterjemahkan dari Sanskrit; dan Ekottarāgama, bersesuaian dengan Aṅguttara Nikāya, umumnya dianggap berasal dari cabang aliran Mahāsaṅghika dan telah diterjemahkan dari dialek Indo-Arya Tengah atau dialek campuran Prakrit dengan unsur Sanskrit. Tripiṭaka China juga berisikan terjemahan sūtra-sūtra dari keempat koleksi, mungkin berasal dari aliran lain lagi yang tidak teridentifikasi, dan terjemahan buku-buku tersendiri dari Koleksi Minor, termasuk dua terjemahan Dhammapada salah satu yang dikatakan paling mirip dengan versi Pāli dan beberapa bagian Suttanipāta, yang, sebagai sebuah karya yang berdiri sendiri, tidak terdapat dalam terjemahan Catatan Tentang Gaya Penulisan Para pembaca sutta-sutta Pāli sering kali terganggu oleh pengulangan-pengulangan teks. Adalah sulit untuk mengetahui bagian mana yang berasal dari Sang Buddha sendiri, yang sebagai seorang pembabar yang berpindah-pindah pasti menggunakan pengulangan untuk memperkuat poin-poin yang Beliau sampaikan, dan berapa banyak yang berasal dari para penyusun. Akan tetapi, jelas bahwa sebagian besar pengulangan berasal dari proses penyampaian lisan. Untuk menghindari pengulangan yang berlebihan dalam terjemahan ini saya banyak menggunakan penghilangan. Dalam hal ini saya mengikuti edisi cetak dari Pāli Text, yang sangat ringkas, tetapi suatu terjemahan yang ditujukan kepada pembaca masa kini memerlukan suatu pemampatan lebih jauh lagi jika ingin menghindari resiko kemarahan pembaca. Di pihak lain, saya telah dengan sangat teliti memeriksa bahwa tidak ada hal penting dalam teks aslinya, termasuk rasanya, menjadi hilang karena peringkasan ini. Idealisme pertimbangan pembaca dan ketaatan pada teks kadang-kadang berlawanan dengan tuntutan pada seorang penerjemah. Perlakuan pola pengulangan yang mana pengucapan yang sama dilakukan sehubungan dengan serangkaian poin adalah persoalan abadi dalam menerjemahkan sutta-sutta Pāli. Ketika menerjemahkan sebuah sutta tentang kelima kelompok unsur kehidupan, misalnya, seseorang tergoda untuk tidak lagi menguraikan kelompok-kelompok secara sendiri-sendiri dan sebaliknya mengubah sutta menjadi sebuah pernyataan umum tentang kelompok-kelompok unsur kehidupan sebagai sekelompok. Bagi saya, pendekatan demikian beresiko mengubah penerjemahan menjadi penafsiran dan karenanya dapat kehilangan banyak makna aslinya. Kebijakan umum saya adalah menerjemahkan ucapan secara lengkap sehubungan dengan poin pertama dan terakhir dari kelompok itu dan hanya menguraikan poin-poin di antaranya yang dipisahkan dengan titik-titik penghilangan. Demikianlah, dalam sebuah sutta tentang lima kelompok unsur kehidupan, saya menerjemahkan pernyataan secara lengkap hanya untuk bentuk dan kesadaran, dan di antaranya terdapat “perasaan … persepsi … bentukan-bentukan kehendak …,” yang menyiratkan bahwa pernyataan lengkap berlaku pada titik-titik ini. Pendekatan ini menuntut keseringan penggunaan titik-titik penghilangan, suatu praktik yang juga mengundang kritik. Ketika menghadapi kalimat-kalimat berulang dalam kerangka narasi, saya kadang-kadang memampatkannya dan tidak menggunakan titik-titik penghilangan untuk menunjukkan di mana teks-teks tersebut dihilangkan. Akan tetapi, dengan teks-teks penjelasan doktrin saya taat pada praktik yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Saya pikir penerjemah memiliki tanggung jawab, ketika menerjemahkan doktrin penting, untuk menunjukkan secara persis di mana teks itu dihilangkan, dan karena titik-titik penghilangan masih menjadi alat terbaik yang kita miliki. I. Kondisi Dunia Pendahuluan Kondisi Dunia Seperti halnya ajaran religius lainnya, Ajaran Buddha berasal-mula sebagai respon atas tekanan pada inti kondisi manusia. Apa yang membedakan ajaran Beliau dengan pendekatan religius lainnya pada kondisi manusia adalah kelangsungan, kecermatan, dan realisme tanpa kompromi tekanan-tekanan yang dilihat oleh Beliau. Sang Buddha tidak memberikan kepada kita pereda sakit yang menyisakan penyakit sesungguhnya tetap tidak tersentuh di bawah permukaan; sebaliknya, Beliau menelusuri penyakit kita hingga penyebab yang paling mendasar, begitu gigih dan bersifat menghancurkan, dan menunjukkan kepada kita bagaimana hal-hal ini dapat dicabut sepenuhnya. Akan tetapi, walaupun Dhamma pada akhirnya akan mengarah menuju kebijaksanaan yang melenyapkan penyebab-penyebab penderitaan, namun hal ini tidak dimulai di sana melainkan dengan pengamatan mengenai fakta-fakta nyata pengalaman sehari-hari. Di sini juga realisme langsung, cermat, dan gigih terbukti. Ajaran ini dimulai dengan mengajak kita untuk mengembangkan kemampuan yang disebut yoniso manasikāra, perhatian seksama. Sang Buddha mengajak kita untuk berhenti terhanyut tanpa pertimbangan sepanjang hidup, dan sebagai gantinya, memperhatikan dengan seksama pada kebenaran-kebenaran sederhana yang sehari-hari terjadi pada kita, menuntut perenungan berkesinambungan selayaknya. Salah satu yang paling nyata dan tidak dapat dihindarkan dari kebenaran-kebenaran ini adalah juga merupakan yang paling sulit bagi kita untuk diterima sepenuhnya, yaitu, bahwa kita pasti menjadi tua, jatuh sakit, dan mati. Secara umum diasumsikan bahwa Sang Buddha mengajak kita untuk mengenali realitas usia tua dan kematian untuk memotivasi kita agar memasuki jalan pelepasan keduniawian yang mengarah menuju Nibbāna, pembebasan sepenuhnya dari lingkaran kelahiran dan kematian. Akan tetapi, walaupun hal ini adalah tujuan tertinggi, namun bukan respon pertama yang Beliau berusaha bangkitkan ketika kita beralih kepadanya untuk mendapatkan tuntunan. Respon pertama yang hendak dibangkitkan Sang Buddha dalam diri kita adalah sesuatu yang etis. Dengan mengarahkan perhatian kita pada belenggu usia tua dan kematian, Beliau berusaha menginspirasi kita dengan suatu tekad yang kokoh untuk berbalik dari cara-cara tidak bermanfaat dalam kehidupan dan sebaliknya merangkul alternatif-alternatif yang bermanfaat. Sekali lagi, Sang Buddha mendasarkan seruan etis awalNya bukan hanya pada perasaan belas kasihan terhadap makhluk-makhluk lain, melainkan juga pada keprihatinan naluriah kita pada kesejahteraan dan kebahagiaan jangka panjang kita sendiri. Beliau berusaha untuk membuat kita melihat bahwa dengan bertindak sesuai petunjuk-petunjuk etis akan memungkinkan kita untuk mengamankan kesejahteraan kita baik pada saat ini maupun jauh di masa depan. Argumen Beliau bergantung pada alasan penting bahwa perbuatan-perbuatan memiliki konsekuensi-konsekuensi. Jika kita harus mengubah kebiasaan-kebiasaan kita, maka kita harus yakin pada kebenaran dari prinsip ini. Khususnya, untuk berubah dari cara-cara kehidupan bodoh menjadi cara yang sungguh bermanfaat, kita harus menyadari bahwa perbuatan-perbuatan kita memiliki konsekuensi-konsekuensi bagi diri kita sendiri, konsekuensi-konsekuensi yang dapat berbalik kepada kita baik dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan-kehidupan berikutnya. Ketiga sutta yang menjadi bagian pertama dari bab ini menunjukkan hal ini dengan begitu tepat, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri. Teks I,11 menjelaskan hukum yang tidak terhindarkan bahwa semua makhluk yang dilahirkan pasti mengalami penuaan dan kematian. Walaupun sepintas khotbah ini tampaknya sekadar mengatakan fakta alami, dengan menyebutkan contoh para anggota dari peringkat atas masyarakat para penguasa kaya, brahmana kaya, dan perumah tangga kaya dan para Arahant yang telah terbebaskan, namun secara tidak langsung menyiratkan suatu pesan moral yang halus dalam kata-katanya. Teks I,12 memaparkan pesan ini secara lebih nyata dengan perumpamaan gunung yang mengesankan, yang mengembalikan poin bahwa ketika “penuaan dan kematian menghampiri” kita, tugas kita dalam hidup adalah menjalani hidup dengan benar dan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan bermanfaat. Sutta tentang “utusan surgawi” – Teks I,13 – memberikan makna yang wajar akan hal ini ketika kita gagal mengenali “para utusan surgawi” di tengah-tengah kita, ketika kita melewatkan isyarat peringatan tersembunyi dari usia tua, penyakit, dan kematian, maka kita menjadi lalai dan berperilaku sembrono, menciptakan kamma tidak bermanfaat yang berpotensi menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan. Kenyataan bahwa kita pasti menjadi tua dan mati mematahkan mantra ketergila-gilaan yang dijatuhkan kepada kita oleh kenikmatan indria, kekayaan, dan kekuasaan. Hal ini menghalau kabut kebingungan dan memotivasi kita untuk menetapkan tujuan hidup yang baru. Kita mungkin belum siap untuk meninggalkan keluarga dan harta untuk menjalani kehidupan mengembara tanpa rumah dan meditasi dalam kesunyian, tetapi hal ini bukanlah pilihan yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para siswa perumah tangga. Sebaliknya, seperti kita lihat di atas, pelajaran pertama Beliau tarik dari fakta bahwa kehidupan kita berakhir pada usia tua dan kematian adalah suatu hal yang etis yang saling terjalin dengan prinsip kembar kamma dan kelahiran kembali. Hukum kamma menetapkan bahwa perbuatan baik dan buruk memiliki konsekuensi jauh melampaui kehidupan saat ini perbuatan buruk mengarah pada kelahiran kembali dalam kondisi sengsara dan menghasilkan kesakitan dan penderitaan di masa depan; perbuatan baik mengarah pada kelahiran kembali yang menyenangkan dan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan di masa depan. Karena kita pasti menjadi tua dan mati, maka kita harus senantiasa menyadari bahwa segala kemakmuran saat ini yang dapat kita nikmati hanyalah sementara. Kita dapat menikmatinya selama kita muda dan sehat; dan ketika kita mati, kamma baru kita peroleh akan masak dan memberikan hasilnya. Kemudian kita harus memetik buah dari perbuatan-perbuatan kita. Dengan mempertimbangkan kesejahteraan jangka panjang, kita seharusnya dengan cermat menghindari perbuatan-perbuatan jahat yang berakibat pada penderitaan dan dengan tekun melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menghasilkan kebahagiaan di sini maupun dalam kehidupan-kehidupan mendatang. Di bagian ke dua, kita menjelajahi tiga aspek kehidupan manusia yang saya kumpulkan dalam judul “Kesengsaraan Kehidupan tanpa Perenungan.” Jenis-jenis penderitaan ini berbeda dengan penderitaan yang berhubungan dengan usia tua dan kematian, dalam aspek yang penting. Usia tua dan kematian terikat pada kehidupan jasmani dan oleh karena itu tidak dapat dihindari, berlaku baik pada orang-orang biasa maupun pada para Arahant yang telah terbebaskan – satu hal yang disebutkan dalam teks pertama bab ini. Sebaliknya, ketiga teks yang termasuk dalam bagian ini seluruhnya membedakan antara orang-orang biasa, yang disebut “kaum duniawi yang tidak terlatih” assutavā puthujjana, dan pengikut bijaksana Sang Buddha, yang disebut “siswa mulia yang terlatih” sutavā ariyasāvaka. Yang pertama dari perbedaan ini, disebutkan dalam Teks I,21, berkisar di sekitar respon pada perasaan menyakitkan. Baik kaum duniawi maupun siswa mulia mengalami perasaan menyakitkan jasmani, namun mereka memberikan respon yang berbeda atas perasaan-perasaan ini. Kaum duniawi memberikan reaksi penolakan dan oleh karena itu, di atas perasaan menyakitkan jasmani, juga mengalami perasaan menyakitkan batin dukacita, kekesalan, atau kesedihan. Siswa mulia, ketika mengalami kesakitan jasmani, menahankan perasaan itu dengan tabah, tanpa dukacita, kekesalan, atau kesedihan. Secara umum diasumsikan bahwa kesakitan jasmani dan batin adalah hubungan yang tidak terpisahkan, tetapi Sang Buddha memberikan batasan yang jelas antara keduanya. Beliau mengajarkan bahwa sementara keberadaan jasmani tidak terhindarkan, pasti mengalami kesakitan jasmani, namun kesakitan demikian tidak harus memicu reaksi emosional kesengsaraan, ketakutan, kekesalan, dan kesedihan yang biasanya menjadi reaksi normal kita. Melalui latihan batin kita dapat mengembangkan perhatian dan pemahaman jernih yang diperlukan untuk menahankan kesakitan jasmani dengan berani, dengan tabah dan seimbang. Melalui pandangan terang kita dapat mengembangkan kebijaksanaan yang cukup untuk mengatasi ketakutan kita pada perasaan sakit dan kebutuhan kita untuk mencari kenyamanan dalam pesta pemuasan indria sebagai pengalihan. Aspek lainnya dari kehidupan manusia yang membawa pada perbedaan penting antara kaum duniawi dan siswa mulia adalah perubahan takdir. Teks-teks Buddhis dengan rapi merangkum hal-hal ini ke dalam empat pasang yang saling berlawanan, yang dikenal sebagai delapan kondisi duniawi aṭṭha lokadhammā untung dan rugi, kemasyhuran dan reputasi buruk, pujian dan celaan, kesenangan dan kesakitan. Teks I,22 menunjukkan bagaimana kaum duniawi dan siswa mulia berbeda dalam merespon perubahan-perubahan ini. Sementara kaum duniawi bergembira dengan keberhasilan dalam mencapai keuntungan, kemasyhuran, pujian, dan kesenangan, dan kecewa ketika dihadapkan pada lawannya yang tidak diharapkan, siswa mulia tetap tidak terganggu. Dengan menerapkan pemahaman ketidakkekalan pada kedua kondisi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, siswa mulia dapat berdiam dalam keseimbangan, tidak terikat pada kondisi menyenangkan, tidak menolak kondisi yang tidak menyenangkan. Seorang siswa demikian meninggalkan suka dan tidak suka, dukacita dan kesedihan, dan akhirnya memenangkan berkat tertinggi dari segalanya kebebasan sepenuhnya dari penderitaan. Teks I,23 memeriksa keadaan menyedihkan dari kaum duniawi pada tingkat yang lebih mendasar. Karena keliru dalam memahami sesuatu, kaum duniawi bergejolak oleh perubahan, khususnya ketika perubahan itu berdampak pada jasmani dan batin mereka. Sang Buddha mengelompokkan unsur-unsur jasmani dan batin ke dalam lima kategori yang dikenal sebagai “lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan” pañc’upādānakkhandhā bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan kehendak, dan kesadaran. Kelima kelompok unsur kehidupan ini adalah balok penyusun yang umumnya kita gunakan untuk membangun identitas pribadi kita; unsur-unsur itu adalah hal-hal yang kita lekati sebagai “milikku,” “aku,” dan “diriku.” Apapun yang kita identifikasikan, apapun yang kita anggap sebagai diri atau milik diri, semuanya dapat dikelompokkan ke dalam kelima kelompok unsur kehidupan ini. Dengan demikian, kelima kelompok unsur kehidupan ini adalah landasan utama bagi “identifikasi” dan “peruntukan,” kedua aktivitas dasar yang karenanya kita membangun suatu keakuan. Karena kita menanamkan gagasan keakuan dan identitas personal dengan suatu perhatian emosional yang tinggi, ketika objek yang padanya keakuan itu terikat – kelima kelompok unsur kehidupan – mengalami perubahan, maka kita secara wajar mengalami kekhawatiran dan kesedihan. Dalam persepsi kita, hal ini bukanlah sekadar fenomena non-personal yang mengalami perubahan, melainkan adalah identitas kita, diri kita yang kita puja, dan hal ini adalah apa yang paling kita takuti. Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh teks ini, seorang siswa mulia telah melihat dengan jelas dengan kebijaksanaan, sifat menipu dari semua gagasan diri yang kekal, dan dengan demikian tidak lagi mengidentifikasikan dengan kelima kelompok unsur kehidupan. Oleh karena itu siswa mulia dapat menghadapi perubahan mereka tanpa kecemasan, tidak gelisah akan perubahan, kerusakan, dan kehancurannya. Gejolak dan kekacauan menerpa kehidupan manusia bukan hanya pada tingkat personal dan pribadi, tetapi juga dalam interaksi sosial kita. Sejak zaman dulu, dunia kita selalu menjadi salah satu konfrontasi dan konflik kekerasan. Nama, tempat, dan alat penghancuran mungkin berubah, tetapi kekuatan di belakangnya, motivasinya, ekspresi keserakahan dan kebencian, tetap sama. Nikāya-nikāya membuktikan bahwa Sang Buddha sangat memahami dimensi kondisi manusia ini. Walaupun ajaran Beliau, dengan penekanan pada disiplin-diri etis dan pengolahan batin, bertujuan terutama pada pencerahan dan pembebasan personal, namun Sang Buddha juga menawarkan kepada orang-orang suatu perlindungan dari kekerasan dan ketidakadilan yang menyakiti kehidupan manusia dengan cara-cara yang kejam. Hal ini jelas dalam penekanan Beliau pada cinta-kasih dan belas-kasihan; pada ketidakkejaman dalam perbuatan dan kehalusan dalam ucapan; dan penyelesaian perselisihan dengan damai. Bagian ke tiga dari bab ini memasukkan empat teks pendek yang membahas akar-akar yang mendasari konflik dan ketidakadilan. Kita dapat melihat dari teks-teks ini bahwa Sang Buddha tidak menuntut perubahan sekadar dalam struktur luar masyarakat. Beliau memperlihatkan bahwa fenomena-fenomena gelap ini adalah proyeksi eksternal dari kecenderungan tidak baik batin manusia dan dengan demikian menunjukkan perlunya perubahan batin sebagai kondisi paralel untuk menciptakan kedamaian dan keadilan sosial. Masing-masing dari empat teks yang termasuk dalam bagian ini menelusuri konflik, kekerasan, tekanan politik, dan ketidakadilan ekonomi ke belakang hingga pada penyebab-penyebabnya; masing-masing dalam caranya melacak lokasinya dalam batin. Teks I,31 menjelaskan konflik antara orang-orang awam yang muncul dari kemelekatan pada kenikmatan indria, konflik antara petapa yang muncul dari kemelekatan pada pandangan-pandangan. Teks I,32 sebuah dialog antara Sang Buddha dan Sakka, penguasa para deva pada masa pre-Buddhis di India, melacak kebencian dan permusuhan pada iri-hati dan kekikiran; dari sana Sang Buddha menelusurinya kembali pada penyimpangan mendasar yang berdampak pada cara persepsi dan kognisi kita memproses informasi yang diberikan oleh indria-indria. Teks I,33 memberikan versi lain dari rantai sebab-akibat yang terkenal, yang berputar dari perasaan menuju ketagihan, dan dari ketagihan melalui kondisi lainnya menuju “pengambilan tongkat pemukul dan senjata” dan jenis-jenis perilaku kekerasan lainnya. Teks I,34 menggambarkan bagaimana ketiga akar kejahatan – keserakahan, kebencian, dan delusi – memiliki dampak mengerikan pada keseluruhan masyarakat, berakibat pada kekerasan, nafsu pada kekuasaan, dan hukuman menyakitkan yang tidak adil. Seluruh empat teks ini menyiratkan bahwa transformasi apapun yang signifikan dan bertahan lama dalam masyarakat memerlukan perubahan signifikan dalam serat moral dari masing-masing individu; karena selama keserakahan, kebencian, dan delusi merajalela menjadi penentu pada perilaku, konsekuensi-konsekuensinya adalah pasti buruk. Ajaran Sang Buddha menyebutkan aspek ke empat dari kondisi manusia yang, tidak seperti tiga yang telah kita bahas, tidak seketika terlihat oleh kita. Ini adalah belenggu kita pada lingkaran kelahiran kembali. Dari teks-teks pilihan yang termasuk dalam bagian terakhir bab ini, kita melihat bahwa Sang Buddha mengajarkan bahwa umur kehidupan kita adalah hanya satu tahap dalam rangkaian kelahiran kembali yang telah berlangsung sejak awal yang tidak dapat diketahui. Rangkaian kelahiran kembali ini disebut saṃsāra, kata Pāli yang menyiratkan gagasan pengembaraan tanpa arah. Tidak peduli berapa jauh ke belakang kita mencari awal dari alam semesta, kita tidak akan pernah menemukan saat awal penciptaan. Tidak peduli berapa jauh ke belakang kita melacak urutan kehidupan seseorang, kita tidak akan pernah sampai pada titik awal. Menurut Teks I,41 dan I,42, bahkan jika kita melacak urutan ibu dan ayah kita di seluruh sistem dunia, kita hanya akan sampai pada lebih banyak ibu dan ayah merentang hingga cakrawala yang jauh. Terlebih lagi, proses itu bukan hanya tanpa awal tetapi juga kemungkinan besar tanpa akhir. Selama ketidak-tahuan dan ketagihan masih tetap ada, proses itu akan berlanjut tak terhingga ke masa depan tanpa titik akhir yang terjangkau. Bagi Sang Buddha dan Buddhisme awal, hal ini menegaskan krisis dalam inti dari kondisi manusia; kita terikat pada rantai kelahiran kembali, dan terikat padanya bukan lain oleh ketidak-tahuan dan ketagihan kita sendiri. Pengembaraan tanpa tujuan dalam saṃsāra muncul pada latar belakang kosmis dari dimensi yang tidak terbayangkan luasnya. Rentang waktu bagi suatu sistem dunia untuk berkembang, mencapai fase maksimum pengembangan, penyusutan, dan kemudian hancur disebut satu kappa Skt kalpa. Teks I,43 memberikan perumpamaan yang jelas untuk menggambarkan rentang waktu satu kappa; Teks I,44 suatu perumpamaan jelas lainnya untuk menggambarkan jumlah kappa yang tidak terhitung yang telah kita lalui dalam pengembaraan kita. Selama makhluk-makhluk mengembara dan berkelana dari satu kehidupan ke kehidupan lain, terselimuti oleh kegelapan, mereka terjatuh lagi dan lagi ke dalam jurang kelahiran, penuaan, penyakit, dan kematian. Tetapi karena ketagihan mendorong mereka maju dalam pencarian tanpa ampun demi kepuasan, mereka jarang berhenti cukup lama untuk melangkah mundur dan memperhatikan kesengsaraan kehidupan mereka. Seperti yang dinyatakan dalam Teks I,45, sebaliknya mereka hanya terus-menerus berputar di sekitar “lima kelompok unsur kehidupan” seperti halnya seekor anjing yang terikat akan berlari mengelilingi tiang atau pilar. Karena ketidak-tahuan mereka mencegah mereka mengenali sifat kejam dari kondisi mereka, mereka tidak mampu melihat bahkan jejak jalan menuju pembebasan. Kebanyakan makhluk hidup tenggelam dalam kenikmatan indria. Yang lainnya, didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan, status, dan penghargaan, melewatkan kehidupan mereka dengan sia-sia berusaha memuaskan dahaga yang tidak terpuaskan. Banyak di antara mereka, karena takut akan kemusnahan pada saat kematian, membangun sistem kepercayaan yang kembali pada diri individual mereka, jiwa mereka, prospek hidup abadi. Sedikit di antara mereka yang menginginkan jalan kebebasan, tetapi tidak mengetahui di mana menemukannya. Demi untuk memberikan jalan inilah maka Sang Buddha telah muncul di tengah-tengah kita. 1. Usia Tua, Penyakit, dan Kematian 1 Penuaan dan Kematian SN Jarāmaraṇa Sutta 2 Perumpamaan Gunung SN Pabbatūpama_Sutta 3 Utusan Surgawi AN Devadūta Sutta 2. Kesengsaraan Hidup Tanpa Perenungan 1 Anak Panah Perasaan Menyakitkan SN Salla Sutta 2 Perubahan dalam Kehidupan AN Dutiyalokadhamma Sutta 3 Kekhawatiran Karena Perubahan SN Upādāparitassanā Sutta 3. Dunia Dalam Kekacauan 1 Asal-mula Konflik AN 2 Mengapakah Makhluk-makhluk Hidup dalam Kebencian? DN Sakkapañha Sutta 3 Mata Rantai Gelap dari Sebab-Akibat DN 15 Mahānidāna_Sutta 9 4 Akar Kekerasan dan Penindasan AN Mūla Sutta 4. Tanpa Awal Yang Dapat Ditemukan 1 Rumput dan Ranting SN Tiṇakaṭṭha_Sutta 2 Bola-bola Tanah SN Pathavī Sutta 3 Gunung SN Pabbata Sutta 4 Sungai Gangga SN Gaṅgā Sutta 5 Anjing Yang Terikat SN Gaddulabaddha Sutta II. Pembawa Cahaya Pendahuluan Pembawa Cahaya Gambaran kondisi manusia yang terdapat dalam Nikāya-nikāya, seperti yang tertera di bab sebelumnya, adalah latar belakang yang darinya manifestasi Sang Buddha di dunia ini mendapatkan signifikansi tinggi dan dalam. Jika kita tidak memandang Sang Buddha pada latar belakang multi-dimensi ini, yang menjangkau dari yang paling personal dan dorongan individual pada saat ini hingga yang luas, irama waktu kosmis yang bukan-personal, maka segala interpretasi yang akan kita peroleh sehubungan dengan peranNya pasti tidak lengkap. Bukannya menangkap sudut pandang para penyusun Nikāya, interpretasi kita malah akan banyak dipengaruhi oleh asumsi kita seperti halnya oleh mereka, bahkan mungkin lebih. Bergantung pada prasangka dan kecenderungan kita, kita mungkin memilih untuk menganggap Sang Buddha sebagai seorang tokoh pembaruan liberal etis dari paham Brahmanisme yang merosot, sebagai seorang tokoh besar kemanusiaan sekuler, sebagai seorang empiris radikal, sebagai seorang psikolog kehidupan, sebagai pendukung agnostik, atau sebagai pelopor aliran intelektual yang sesuai dengan khayalan kita. Sang Buddha yang menatap balik kepada kita melalui teks-teks akan sangat merefleksikan diri kita sendiri, terlalu kecil untuk suatu gambaran Yang Tercerahkan. Mungkin dalam menerjemahkan literatur religius kuno, kita tidak akan pernah sepenuhnya menghindari penyisipan diri kita dan nilai-nilai kita sendiri ke dalam topik yang sedang kita terjemahkan. Akan tetapi, walaupun kita tidak akan pernah mencapai transparansi sempurna, namun kita dapat membatasi dampak penyimpangan personal pada proses penerjemahan dengan memberikan penghormatan pada kata-kata dalam teks. Ketika kita memberikan penghormatan kepada Nikāya-nikāya, ketika kita menganggap serius kisah-kisah latar belakang itu pada manifestasi Sang Buddha di dunia ini, maka kita akan melihat bahwa Nikāya-nikāya itu berasal dari misi Beliau yang tidak kurang dari cakupan kosmis. Terhadap latar belakang alam semesta yang tanpa batasan waktu yang dapat dibayangkan, suatu alam semesta yang di dalamnya makhluk-makhluk hidup yang terselimuti dalam kegelapan ketidak-tahuan mengembara dengan terikat pada penderitaan usia tua, penyakit, dan kematian, Sang Buddha hadir sebagai “pembawa obor bagi manusia” ukkādhāro manussānaṃ membawa cahaya Dalam kata-kata dari Teks II,1, kemunculanNya di dunia adalah “manifestasi penglihatan agung, cahaya agung, sinar agung.” Setelah menemukan untuk diriNya sendiri kedamaian kebebasan yang sempurna, Beliau menyalakan cahaya pengetahuan, yang mengungkapkan baik kebenaran-kebenaran yang harus kita lihat untuk diri kita sendiri maupun jalan praktik yang memuncak dalam penglihatan yang membebaskan ini. Menurut tradisi Buddhis, Sang Buddha Gotama bukan hanya satu individu unik yang membawa kemunculan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke atas panggung sejarah manusia dan kemudian pensiun untuk selamanya. Melainkan, Beliau adalah pemenuhan suatu model primordial, anggota terbaru dari “dinasti” para Buddha kosmis yang terdiri dari tidak terhingga banyaknya para Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau dan dilestarikan oleh para Yang Tercerahkan Sempurna yang melanjutkan dengan tanpa batas ke masa depan. Buddhisme awal, bahkan di dalam sumber teks-teks kuno dari Nikāya-nikāya, telah mengenali pluralitas para Buddha yang semuanya selaras pada pola prilaku tertentu yang pasti, secara garis besar digambarkan dalam bagian pembukaan dari Mahāpadāna Sutta Digha Nikāya 14, yang tidak dicantumkan dalam buku ini. Kata “Tathāgata,” yang digunakan dalam teks sebagai sebuah gelar bagi seorang Buddha, merujuk pada pemenuhan model primordial ini. Kata ini bermakna baik sebagai “Seorang yang telah datang demikian” tathā āgata, yaitu, yang telah datang ke tengah-tengah kita dengan cara yang sama dengan para Buddha masa lampau telah datang; maupun sebagai “Seorang yang telah pergi demikian” tathā gata, yaitu, yang telah pergi menuju kedamaian tertinggi, Nibbāna, dengan cara yang sama dengan para Buddha masa lampau telah pergi. Walaupun Nikāya-nikāya menetapkan bahwa dalam sistem dunia mana pun, pada masa kapan pun, hanya muncul satu Buddha Yang Tercerahkan Sempurna, kemunculan para Buddha merupakan bagian alami dari proses kosmik. Bagaikan sebuah meteor dalam kegelapan langit malam, dari waktu ke waktu seorang Buddha akan muncul dalam latar belakang ruang dan waktu yang tanpa batas, menerangi cakrawala spiritual di dunia, memancarkan kecemerlangan kebijaksanaanNya pada mereka yang mampu melihat kebenaran-kebenaran yang beliau terangi. Makhluk yang kelak menjadi seorang Buddha disebut, dalam Pāli, seorang bodhisatta, sebuah kata yang lebih dikenal dalam bentuk Sanskrit, bodhisattva. Menurut tradisi Buddhis pada umumnya, seorang bodhisatta adalah seorang yang menjalani perjalanan panjang pengembangan spiritual dengan sadar termotivasi oleh cita-cita untuk mencapai Kebuddhaan di masa Terinspirasi dan ditopang oleh belas kasih agung terhadap makhluk-makhluk hidup yang terperosok ke dalam penderitaan kelahiran dan kematian, seorang Bodhisatta memenuhi, selama banyak kappa kosmis, perjalanan sulit yang diperlukan untuk sepenuhnya menguasai prasyarat untuk mencapai penerangan sempurna. Ketika semua prasyarat ini lengkap terpenuhi, Beliau mencapai Kebuddhaan untuk menegakkan Dhamma di dunia. Seorang Buddha menemukan jalan menuju kebebasan yang telah lama hilang, “jalan tua” yang dilalui oleh para Buddha masa lampau yang memuncak dalam kebebasan Nibbāna yang tanpa batas. Setelah menemukan jalan itu dan melaluinya hingga titik akhir, kemudian Beliau mengajarkannya sepenuhnya kepada manusia sehingga banyak orang lain dapat memasuki jalan itu menuju kebebasan akhir. Akan tetapi, hal ini tidak memadamkan fungsi seorang Buddha. Seorang Buddha memahami dan mengajarkan bukan hanya jalan menuju kebebasan tertinggi, kebahagiaan sempurna Nibbāna, tetapi juga jalan-jalan yang mengarah menuju berbagai jenis kebahagiaan duniawi yang bermanfaat yang juga diinginkan manusia. Seorang Buddha menyatakan baik jalan peningkatan duniawi yang memungkinkan makhluk-makhluk hidup menanamkan akar bermanfaat yang produktif pada kebahagiaan, kedamaian, dan keamanan dalam dimensi duniawi dari kehidupan mereka, dan jalan yang melampaui keduniawian untuk menuntun makhluk-makhluk menuju Nibbāna. Dengan demikian PeranNya adalah lebih luas daripada suatu fokus eksklusif pada aspek transenden seperti yang disiratkan oleh ajaranNya. Beliau bukan hanya seorang mentor para petapa, bukan hanya seorang guru teknik meditasi dan pandangan terang filosofis, melainkan seorang penuntun Dhamma dalam jangkauan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya; seorang yang mengungkapkan, menyatakan, dan menegakkan semua prinsip-prinsip integral untuk mengoreksi pemahaman dan perilaku bermanfaat, apakah duniawi atau pun transendental. Teks II,1 menggaris-bawahi dimensi altruistik yang luas dari karir seorang Buddha ketika teks ini memuji Sang Buddha sebagai satu orang yang muncul di dunia “demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, demi belas kasih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para deva dan manusia.” Nikāya-nikāya memberikan dua perspektif sehubungan dengan Sang Buddha sebagai sesosok pribadi, dan untuk menilai teks ini adalah penting untuk menerima kedua perspektif ini dengan seimbang, tanpa membiarkan yang satu meniadakan yang lain. Suatu pandangan yang benar atas Sang Buddha hanya dapat dimunculkan dari penggabungan kedua perspektif ini, seperti halnya penglihatan benar atas suatu objek hanya dapat dimunculkan ketika perspektif yang ditampilkan oleh kedua mata bergabung di dalam otak menjadi satu gambaran tunggal. Salah satu perspektif, yang paling sering digaris-bawahi dalam penyajian Buddhisme modern, menunjukkan Sang Buddha sebagai seorang manusia yang, seperti juga manusia lainnya, harus berjuang dengan kelemahan-kelemahan umum dari sifat manusia untuk sampai pada kondisi Yang Tercerahkan. Setelah pencerahanNya pada usia tiga puluh lima, Beliau berjalan di antara kita selama empat puluh lima tahun sebagai seorang guru manusia yang bijaksana dan penuh belas kasih, berbagi pencapaianNya dengan orang lain dan memastikan bahwa ajaranNya akan bertahan lama di dunia setelah Beliau meninggal dunia. Ini adalah sisi alamiah Sang Buddha yang digambarkan paling menonjol dalam Nikāya-nikāya. Karena sangat bersesuaian dengan sikap agnostik kontemporer terhadap keyakinan religius ideal, hal ini memiliki sisi menarik bagi mereka yang menganut cara-cara pemikiran modern. Aspek lain dari sosok Sang Buddha tampak agak aneh bagi kita, tetapi diyakini luas dalam tradisi Buddhis dan bertindak sebagai landasan bagi pemujaan Buddhis populer. Walaupun sekunder dalam Nikāya-nikāya, namun kadang-kadang muncul secara begitu menyolok sehingga tidak dapat diabaikan, terlepas dari usaha-usaha para praktisi Buddhis modern untuk mengurangi nilainya atau merasionalisasi penyusupannya. Dari perspektif ini, Sang Buddha terlihat sebagai seorang yang telah melakukan persiapan bagi pencapaian tertinggi selama banyak kehidupan lampau yang tak terhingga dan ditakdirkan sejak lahir untuk memenuhi misiNya sebagai seorang guru dunia. Teks II,2 adalah sebuah contoh bagaimana Sang Buddha dilihat dari perspektif ini. Di sini, dikatakan, Sang Calon Buddha turun dengan penuh kesadaran dari alam surga Tusita ke dalam rahim ibunya; konsepsi dan kelahirannya disertai dengan keajaiban; para dewa menyembah bayi yang baru lahir; dan segera setelah Beliau dilahirkan, Beliau berjalan tujuh langkah dan menyerukan takdir masa depanNya. Jelas, bagi para penyusun sutta seperti ini, Sang Buddha telah ditakdirkan untuk mencapai Kebuddhaan bahkan sebelum konsepsiNya dan dengan demikian perjuangannya untuk mencapai pencerahan adalah sebuah pertempuran yang hasilnya telah ditentukan sebelumnya. Akan tetapi, paragraf terakhir dari sutta ini, secara ironis mendengar kembali gambaran realistis dari Sang Buddha. Apa yang dianggap oleh Sang Buddha sendiri sebagai sesuatu yang menakjubkan yang bukan merupakan keajaiban yang menyertai konsepsi dan kelahiranNya, tetapi perhatianNya dan pemahaman jernih di tengah-tengah perasaan, pikiran, dan persepsi. Tiga teks dalam bagian 3 adalah kisah biografi yang konsisten dengan sudut pandang naturalis. Teks-teks ini memberikan kepada kita suatu potret Sang Buddha yang sebenarnya dalam kenyataannya, secara murni naturalis, menyentuh dalam kemampuannya untuk menyampaikan pandangan terang psikologis mendalam dengan teknik penggambaran minimal. Dalam Teks II, 31 kita membaca tentang pelepasan keduniawianNya, latihanNya di bawah dua guru meditasi terkenal, kekecewaanNya pada ajaran-ajaran mereka, perjuanganNya sendirian, dan kemenanganNya dalam mencapai Keabadian. Teks II, 32 mengisi celah narasi di atas dengan kisah terperinci praktik Sang Bodhisatta dalam menyiksa diri, yang anehnya tidak terdapat pada khotbah sebelumnya. Teks ini juga memberikan kita penggambaran klasik dari pengalaman pencerahan seperti pencapaian empat jhāna, kondisi-kondisi meditasi mendalam, diikuti dengan ketiga vijjā atau jenis-jenis pengetahuan yang lebih tinggi pengetahuan mengingat kehidupan lampau, pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk, dan pengetahuan hancurnya noda-noda. Sementara teks ini menyampaikan kesan bahwa pengetahuan terakhir muncul dalam pikiran Sang Buddha secara tiba-tiba dan intuisi spontan, Teks II,33 mengoreksi kesan ini dengan sebuah kisah Sang Bodhisatta pada malam menjelang pencerahannya merenungkan secara mendalam pada penderitaan usia tua dan kematian. Kemudian Beliau secara metodis menelusuri penderitaan ini kembali kepada kondisinya melalui sebuah proses yang terlibat, pada setiap tahap, “perhatian seksama” yoniso manasikāra menuntun menuju “suatu penembusan melalui kebijaksanaan” paññāya abhisamaya. Proses penyelidikan ini memuncak dalam penemuan kemunculan bergantungan, yang mana menjadi batu landasan filosofis dari ajaranNya. Adalah penting untuk menekankan bahwa, seperti disajikan di sini dan di tempat lain dalam Nikāya-nikāya baca di bawah, kemunculan bergantungan tidak menyiratkan suatu perayaan kegembiraan dari segala sesuatu yang saling berkaitan melainkan suatu pengucapan tepat dari pola kondisionalitas dalam ketergantungan yang padanya penderitaan muncul dan lenyap. Dalam teks yang sama, Sang Buddha menyatakan bahwa Beliau menemukan jalan pencerahan hanya ketika Beliau menemukan jalan untuk mengakhiri kemunculan bergantungan. Demikianlah pencapaian lenyapnya kemunculan bergantungan, dan bukan sekadar penemuan aspek asal-mulanya, yang mempercepat pencerahan Sang Buddha. Perumpamaan kota tua, yang diperkenalkan kemudian dalam khotbah, mengilustrasikan poin bahwa pencerahan Sang Buddha bukanlah suatu peristiwa unik melainkan penemuan kembali “jalan tua” yang sama yang telah diikuti oleh para Buddha di masa lampau. Teks II,4 melanjutkan narasi dari Teks II,31, yang telah saya bagi dengan menggabungkan kedua versi alternatif dari pencarian Sang Buddha atas jalan pencerahan. Sekarang kita bergabung dengan Sang Buddha segera setelah pencerahanNya ketika Beliau merenungkan pertanyaan berat apakah akan berbagi pencapaianNya dengan dunia. Pada titik ini, di tengah-tengah suatu teks yang telah sangat luas muncul dengan begitu meyakinkan, sesosok dewa bernama Brahmā Sahampati turun dari alam surga untuk memohon agar Sang Buddha mengembara dan mengajarkan Dhamma demi manfaat dari mereka yang memiliki “sedikit debu di mata mereka.” Apakah adegan ini diinterpretasikan secara literal atau sebagai sebuah simbol undangan dari sebuah drama internal yang terjadi dalam pikiran Sang Buddha? Sulit untuk memberikan jawaban pasti atas pertanyaan ini; mungkin adegan ini bisa dipahami sebagai terjadi pada kedua tahap sekaligus. Bagaimana pun juga, kemunculan Brahmā pada titik ini menandai suatu pergeseran dari realisme yang mewarnai bagian awal dari sutta ini ke belakang pada modus simbolis-mistis. Transisi ini sekali lagi menegaskan signifikansi kosmis dari pencerahan Sang Buddha dan misi masa depanNya sebagai seorang guru. Permohonan Brahmā akhirnya menang dan Sang Buddha setuju untuk mengajar. Sebagai penerima pertama ajaranNya Beliau memilih kelima petapa yang telah melayaniNya selama tahun-tahun praktik petapaanNya. Narasi ini memuncak dalam sebuah pernyataan singkat bahwa Sang Buddha memberikan instruksi kepada mereka dalam suatu cara sehingga mereka semua mencapai Keabadian Nibbāna untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi, tidak ada indikasi sehubungan dengan ajaran khusus apa yang ditanamkan Beliau kepada mereka ketika Beliau pertama bertemu dengan mereka setelah pencerahanNya. Ajaran itu adalah Khotbah Pertama itu sendiri, yang dikenal sebagai “Pemutaran Roda Dhamma.” Sutta ini termasuk di sini sebagai Teks II,5. Ketika sutta dimulai, Sang Buddha menyatakan kepada kelima petapa bahwa Beliau telah menemukan “jalan tengah,” yang Beliau identifikasi dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di bawah cahaya kisah biografi sebelumnya, kita dapat memahami mengapa Sang Buddha memulai khotbah ini dengan cara ini. Kelima petapa pada awalnya menolak menerima pengakuan pencerahan Sang buddha dan menolakNya sebagai seorang yang telah mengkhianati panggilan dan kembali kepada kehidupan mewah. Demikianlah Beliau pertama-tama harus meyakinkan mereka bahwa, bukannya kembali ke kehidupan kenikmatan-diri, Beliau malah telah menemukan pendekatan baru menuju pencarian tanpa akhir demi pencerahan. Pendekatan baru ini, Beliau memberitahu mereka, tetap setia pada pelepasan kenikmatan indria namun menghindari penyiksaan diri sebagai tidak bermanfaat dan tidak produktif. Kemudian Beliau menjelaskan kepada mereka jalan benar menuju kebebasan, Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang menghindari kedua ekstrim dan dengan demikian membangkitkan cahaya kebijaksanaan dan memuncak dalam hancurnya semua belenggu, Nibbāna. Begitu Beliau telah menjernihkan kesalah-pahaman mereka, Sang Buddha kemudian menyatakan kebenaran-kebenaran yang Beliau tembus pada malam pencerahanNya. Ini adalah Empat Kebenaran Mulia. Beliau tidak hanya mengucapkan masing-masing kebenaran itu dan secara ringkas mendefinisikan maknanya, melainkan Beliau menjelaskan masing-masing kebenaran dalam tiga perspektif. Hal ini merupakan tiga “pemutaran roda Dhamma” yang dirujuk belakangan dalam khotbah ini. Sehubungan dengan masing-masing kebenaran, pemutaran pertama adalah kebijaksanaan yang menerangi ciri tertentu dari kebenaran mulia itu. Pemutaran ke dua adalah pemahaman bahwa masing-masing kebenaran mulia itu menuntut tugas tertentu untuk diselesaikan. Demikianlah kebenaran mulia pertama, kebenaran penderitaan, harus dipahami sepenuhnya; kebenaran ke dua, kebenaran asal-mula penderitaan atau ketagihan, harus ditinggalkan; kebenaran ke tiga, kebenaran lenyapnya penderitaan, harus dicapai; dan kebenaran ke empat, kebenaran sang jalan, harus dikembangkan. Pemutaran ke tiga adalah pemahaman bahwa keempat fungsi sehubungan dengan Keempat Kebenaran Mulia telah diselesaikan kebenaran penderitaan telah dipahami sepenuhnya; ketagihan telah ditinggalkan; lenyapnya penderitaan telah dicapai; dan Sang Jalan telah dikembangkan sepenuhnya. Beliau mengatakan, hanya ketika Beliau telah memahami Keempat Kebenaran Mulia dalam ketiga pemutaran ini dan dua belas cara, maka Beliau dapat mengaku bahwa Beliau telah mencapai penerangan sempurna yang tidak terlampaui. Dhammacakkappavattana Sutta sekali lagi mengilustrasikan perpaduan kedua gaya bahasa yang saya sebutkan sebelumnya. Khotbah ini berjalan hampir seluruhnya dalam cara realistis-naturalistis hingga kita mendekati akhir. Ketika Sang Buddha mengakhiri khotbahNya, signifikansi kosmis dari peristiwa ini dijelaskan oleh paragraf yang menunjukkan bagaimana para dewa dari tiap-tiap alam surga berturut-turut bersorak atas khotbah itu dan menyerukan berita baik itu ke atas pada para deva di alam yang lebih tinggi berikutnya. Pada waktu yang sama, keseluruhan sistem dunia bergoyang dan berguncang, dan cahaya gilang-gemilang melampaui cahaya para deva muncul di dunia. Kemudian, pada bagian akhir, kita kembali dari adegan agung ini kepada alam manusia yang normal, untuk melihat Sang Buddha secara singkat memuji Petapa Koṇḍañña karena memperoleh “penglihatan Dhamma yang tanpa noda dan bebas dari debu.” Dalam sepersekian detik, Pelita Ajaran telah disampaikan dari Guru kepada siswaNya, untuk memulai perjalanan di seluruh penjuru India dan seluruh Dunia. 1. Satu Orang AN 2. Konsepsi dan Kelahiran Sang Buddha MN 123 Acchariyaabbhūta Sutta 3. Pencarian Pencerahan 1 Mencari Kondisi Kedamaian Luhur Tertinggi MN 26 Ariyapariyesana Sutta; I 160-67; Paragraf 5-18 2 Pencapaian Tiga Pengetahuan Sejati MN 36 Mahāsaccaka Sutta; I 240-49 3 Kota Tua SN 1265; II 104-7 4. Keputusan Untuk Mengajar MN 26 Ariyapariyesana Sutta; I 167-73 5. Khotbah Pertama III. Men DHAMMA-SARI Disusun oleh Maha Pandita Sumedha Widyadharma Penerbit Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda Cetakan Kesembilan, 1994 BAB III EMPAT KESUNYATAAN MULIA Kesunyataan Mulia Pertama Dukkha Yang menjadi pokok ajaran Sang Buddha terletak pada Empat Kesunyataan Mulia ini yang Beliau babarkan dalam khotbah-Nya yang pertama kepada lima orang pertapa bekas teman seperjuangan-Nya di Isipatana sekarang Sarnath dekat Benares. Dalam khotbah ini yang dapat kita ketahui dari teks aslinya, Empat Kesunyataan Mulia ini dikhotbahkan tidak secara panjang lebar. Tetapi di bagian-bagian lain yang tidak terhitung jumlahnya, ajaran ini dibabarkan dan diterangkan berulang-ulang dengan lebih terperinci dan dengan berbagai macam cara. Kalau kita mempelajari Empat Kesunyataan Mulia dari keterangan dan perincian tersebut di atas, kita akan mendapat gambaran yang baik dan tepat tentang ajaran yang penting ini sesuai dengan teksnya yang asli. Empat Kesunyataan Mulia terdiri dari D u k k h a, dukkha D u k k h a S a m u d a y a, sumber dukkha D u k k h a N i r o d h a, terhentinya dukkha M a g g a, jalan yang menuju ke terhentinya dukkha. KESUNYATAAN MULIA PERTAMA D U K K H A Kesunyataan Mulia Pertama Dukkha Ariyasacca pada umumnya oleh hampir semua sarjana diterjemahkan sebagai “Kesunyataan Mulia Pertama tentang penderitaan” dan ini menurut anggapan mereka harus diartikan bahwa menurut paham Buddhis, penghidupan ini tidak lain daripada penderitaan dan kesakitan. Terjemahan dan arti yang diberikan itu kedua-duanya ternyata tidak memuaskan dan dapat menimbulkan kesalahpahaman. Dengan adanya terjemahan yang singkat dan bebas ini, banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis. Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif jathabhutang dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa “penghidupan ini sorga” dan juga tidak ingin menakut-nakutkan umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal. Agama Buddha memberitahukan kepada Anda secara wajar dan tanpa tedeng aling-aling tentang siapa sebenarnya Anda dan apakah yang ada di sekeliling Anda dan juga menunjukkan jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan. Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang-pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat; sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya. Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya. Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong. Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini Bhisaka atau Bhaisajya-Guru. Tidak dapat disangkal bahwa kata Pali “dukkha” dalam percakapan sehari-hari berarti “derita”, “sakit”, “sedih” atau “masygul” sebagai lawan dari kata “sukha” yang berarti “bahagia”, “senang” atau “gembira”. Tetapi kata “dukkha” yang dipakai, dalam Kesunyataan Mulia Pertama, yang merupakan pandangan Sang Buddha tentang kehidupan dalam bentuk apa pun juga, mempunyai arti filosofis yang lebih dalam dan mencakup bidang yang sangat luas. Kata “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama selain berarti “derita” biasa juga, mempunyai arti yang lebih dalam lagi, seperti “tidak sempurna”, “tidak kekal”, “kosong”, “tanpa inti”, dll. Dari itu, sulit sekali untuk menemukan satu kata yang dapat mencakup seluruh arti istilah “dukkha” dalam Kesunyataan Mulia Pertama. Karena itu, dianggap lebih bijaksana untuk tidak menterjemahkannya daripada memberikan terjemahan yang salah dan tidak sempurna seperti “derita” dan “sakit”. Sang Buddha belum pernah tidak mengakui adanya kebahagiaan dalam kehidupan. Sebaliknya Beliau mengakui tentang berbagai bentuk kebahagiaan, materiil maupun spiritual, bagi orang biasa dan juga bagi para bhikkhu. Dalam kitab Angutara-Nikaya, salah satu kitab yang berisi koleksi asli dalam bahasa Pali dari khotbah-khotbah Sang Buddha, dapat ditemukan satu daftar dari kebahagiaan sukhani, misalnya kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan seorang pertapa, kebahagiaan getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan dari orang yang menyingkir dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan, kebahagiaan badaniah dan kebahagiaan mental, dan lain-lain. Namun, semua kebahagiaan yang disebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan, harus diketahui bahwa keadaan “jhana” yang dapat dicapai dengan melaksanakan samadhi, sehingga orang dapat membebaskan dirinya dari penderitaan dalam arti umum dan berada dalam kebahagiaan yang murni atau keadaan “jhana” yang terbebas dari perasaan “sukha” dan “dukkha” sehingga merupakan keseimbangan dan kesadaran belaka juga termasuk dalam pengertian “dukkha”. Dalam salah satu sutta dari Majjhima-Nikaya, setelah memuji tinggi kebahagiaan batin yang diperoleh dari “jhana”, Sang Buddha kemudian bersabda bahwa kebahagiaan itu akan berubah dan tidak kekal dan karenanya harus digolongkan dalam “dukkha” anicca dukkha viparinama-dhamma. Dari contoh-contoh di atas dapat diketahui dengan jelas, bahwa “dukkha” bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah “dukkha” Yad aniccang tang dukkhang. Sang Buddha adalah Orang yang realis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-hawa nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal perasaan tertarik atau kegembiraan assada akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas adinava perasaan tidak terikat atau terbebas nissarana. Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu, dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan assada. Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu; dan segala sesuatu yang membuatnya tertarik juga tidak kekal. Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga, tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan “tidak baik”, “berbahaya” dan “tidak memuaskan” adinava. Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari. Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan “tidak terikat” dan “terbebas” nissaana. Ketiga hal yang tersebut di atas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu. Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya, barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb. “O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu. Tetapi, O siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidakpuasan oleh karenanya adalah ketidakpuasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya; dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.” Konsep dukkha dapat ditinjau dari tiga segi dukkha sebagai derita biasa dukkha-dukkha dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan viparinama-dukkha dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi sankhara-dukkha. Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti dilahirkan, berusia tua, mati; bekerjasama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan; dipisahkan dari orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi; tidak memperoleh sesuatu yang didambakan; kesedihan, keluh-kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai derita biasa” dukkha-dukkha. Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini dapat digolongkan dalam “dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan” viparinama-dukkha. Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut di atas. Tidak seorangpun yang dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari. Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kesunyataan Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai “makhluk”, sebagai “orang” atau sebagai “aku” itu. Menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “aku” hanya merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri atas Lima Kelompok Kegemaran pancakkhanda. Sang Buddha pernah bersabda sbb. “Dengan singkat dapat dikatakan bahwa Lima Kelompok Kegemaran ini adalah dukkha”. Pada kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kegemaran. “O bhikkhu, apakah dukkha itu? Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kegemaran bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kegemaran itu sendiri adalah dukkha. Kita akan dapat mengerti lebih baik persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kegemaran tersebut yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “makhluk”. Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha tersebut. LIMA KHANDA Khandha pertama ialah “kegemaran kepada bentuk” rupakkhandha. Dalam kelompok ini termasuk empat Mahabhuta, yaitu empat unsur yang terdiri dari benda padat, cair, panas dan gerak. Juga termasuk dalam kelompok ini benda-benda dan hal-hal yang dapat kita hubungkan dengan empat Mahabhuta itu seperti lima indria kita mata, hidung, telinga, lidah dan badan dengan obyek-sasarannya seperti bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh, dan juga pikiran, gagasan dan konsepsi yang berada dalam alam obyek pikiran dhammayatana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada di dalam badan kita maupun obyek sasarannya, tercakup dalam Rupakkhanda ini. Khandha kedua ialah “kegemaran kepada perasaan” vedanakkhanda. Dalam kelompok ini termasuk semua perasaan perasaan bahagia, perasaan tidak bahagia dan perasaan netral yang timbul karena adanya kontak dari indria kita dengan dunia luar. Ada enam jenis perasaan perasaan yang timbul dari kontak melalui mata dengan bentuk-bentuk yang terlihat; telinga dengan suara, hidung dengan bebauan; lidah dengan benda-benda yang melalui mulut; badan dengan sentuhan-sentuhan; dan pikiran dengan obyek pikiran, gagasan dan konsepsi. Semua perasaan fisik dan mental termasuk dalam kelompok ini. Ada baiknya untuk membahas secara singkat apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah “pikiran” manas dalam filsafat Buddhis. Kita harus mengerti dengan baik bahwa yang dimaksud dengan manas bukanlah “jiwa” sebagai lawan dari “badan jasmani”. Manas sebenarnya juga sebuah indria sebagaimana halnya dengan mata atau telinga. Manas atau pikiran dapat dikontrol dan dikembangkan seperti indria yang lain dan Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indria ini. Perbedaan antara indria mata dan indria pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Kita mengetahui berbagai hal di dunia ini melalui berbagai indria yang kita miliki. Misalnya, kita tidak dapat mendengar warna, tetapi kita melihat warna; sebaliknya, kita tidak dapat melihat suara, tetapi kita mendengar suara. Dengan lima indria fisik kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, perasaan lidah dan benda-benda yang dapat disentuh. Tetapi, kesemuanya ini baru merupakan sebagian dari isi dunia ini. Sebab, bagaimana dengan gagasan-gagasan dan pikiran? Mereka pun merupakan bagian dari dunia ini. Tetapi kita tidak dapat mengetahui mereka dengan perantaraan indria mata, telinga, hidung, lidah dan badan jasmani. Namun, mereka dapat kita ketahui melalui indria keenam yaitu indria pikiran. Tetapi, harus pula disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan tidaklah berdiri sendiri terlepas dari pengalaman-pengalaman lima indria fisik lainnya. Pada hakekatnya mereka tergantung kepada dan timbul oleh pengalaman fisik. Seorang yang dilahirkan buta tidak mempunyai ide gambaran tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan indrianya yang lain. Dengan demikian, jelas bahwa hal-hal lain yang merupakan bagian dari dunia ini, dihasilkan dan disebabkan oleh pengalaman-pengalaman fisik yang telah dicerap oleh pikiran kita. Oleh karena itu, pikiran manas dapat dianggap sama seperti indria-indria lain, misalnya mata atau telinga. Khanda ketiga ialah “kegemaran kepada pencerapan” saññakkhandha. Sebagaimana halnya dengan perasaan, pencerapan ini pun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek sasaran masing-masing. Seperti juga perasaan, pencerapan tercipta oleh karena enam indria kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental. Khandha keempat ialah “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” sankharakkhandha. Dalam kelompok ini termasuk semua kegiatan “kehendak” kita, yang baik maupun yang buruk. Yang dikenal oleh masyarakat umum sebagai “kamma” termasuk dalam kelompok ini. Kita harus selalu ingat akan definisi tentang kamma yang diberikan oleh Sang Buddha sendiri “O bhikkhu, kehendak cetana itulah yang Aku namakan kamma. Sesudah berkehendak orang kemudian berbuat dengan badan jasmani, ucapan atau pikiran”. Kehendak cetana adalah satu bentuk mental, kegiatan mental. Tugasnya ialah untuk mengarahkan pikiran kita ke perbuatan baik, perbuatan buruk atau perbuatan netral. Sebagaimana halnya perasaan dan pencerapan, kehendak ini pun terdiri atas enam jenis yang berhubungan dengan keenam indria kita dengan obyek-sasaran masing-masing, baik benda-benda fisik maupun mental. Perasaan dan pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak. Mereka tak akan menimbulkan buah-kamma. Hanya kegiatan kehendak yang dapat menimbulkan buah-kamma, misalnya Manasikara – perhatian Chanda – keinginan untuk berbuat Adhimokkha – ketetapan hati Saddha – keyakinan Samadhi – samadhi Pañña – kebijaksanaan Viriya – semangat, tenaga, gaya untuk berbuat sesuatu Raga – hawa nafsu Patigha – kebencian, dendam Avijja – ketidaktahuan, kebodohan Mana – kesombongan Sakkayaditthi – ide tentang adanya “aku” yang kekal dan terpisah Semuanya terdapat 52 kegiatan mental yang dapat digolongkan dalam “kegemaran akan bentuk-bentuk pikiran” Khandha kelima ialah “kegemaran akan kesadaran” viññana-kkhanda . Kesadaran adalah reaksi atau respon yang mempunyai dasar salah satu dari keenam indria kita dengan obyek-sasaran dari indria yang bersangkutan. Misalnya, kesadaran mata cakkhu-viññana mempunyai mata sebagai dasar dan sebagai obyek-sasaran, benda-benda yang dapat dilihat. Kesadaran pikiran mano-viññana mempunyai pikiran sebagai dasar dan ide atau gambar-pikiran sebagai obyek. Dari kedua contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa kesadaran selalu dihubungkan dengan indria-indria kita. Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan dan kehendak, kesadaran pun terdiri atas enam jenis; yaitu yang berhubungan dengan keenam indria kita dan obyek sasarannya. Anda harus mengerti dengan sebaik-baiknya, bahwa Kesadaran tidak dapat mengenal suatu obyek. Ia hanya merupakan kesadaran yaitu kesadaran akan adanya satu obyek. Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru misalnya, kesadaran mata kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna biru. Pada tingkatan ini kita belum mengenal apa-apa. Tingkat Pencerapan yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru. Kesadaran mata hanya berarti bahwa satu bentuk atau benda telah terlihat. Tetapi, melihat belum berarti mengenalnya. Begitu juga halnya dengan kesadaran indria-indria lainnya. Di sini ingin diingatkan sekali lagi, bahwa menurut Buddha Dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai “aku”, “jiwa” atau “ego” sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran viññana janganlah sekali-kali dianggap sebagai “jiwa” yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam “jiwa” dan “ego” yang bersifat kekal abadi. Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru pernah berkata “Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling.” Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan “kesadaran” itu? Jawaban Sati adalah klasik “Sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana.” “Orang bodoh”, jawab Sang Guru, “dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan. Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta. Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut “… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. … Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata “Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara rupapayang, benda sebagai obyek ruparammanang, benda sebagai pembantu rupapatitthang dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang. Andaikata ada orang yang berkata aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada.” Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kegemaran Pañcakkhanda. Lalu yang dinamakan makhluk, orang atau “aku” hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kegemaran tersebut. Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha Yad aniccang tang dukkhang. Inilah makna sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha “Secara singkat, Lima Kelompok Kegemaran itu adalah dukkha.” Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Di sini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali. “O brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai di perjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung.” Sang Buddha pernah berkata kepada Ratthapala “Dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal.” Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta Pali atau Atman Skrt yang kekal abadi, satu pribadi atau yang disebut sebagai “aku”. Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai “aku”. Tetapi kalau Lima Kelompok Kegemaran ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagi satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang “aku” itu. Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kegemaran keempat yang baru saja kita perbincangkan, yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang “aku” sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya = tubuh. Lima Kelompok Kegemaran ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai “makhluk”, juga merupakan dukkha sankharadukkha. Sebenarnya tak ada “makhluk” atau “aku” lain yang berdiri di belakang Lima Kelompok Kegemaran itu yang mengalami penderitaan. Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata “Hanya penderitaan yang ada, namun “tak dapat dijumpai si penderita; “Perbuatan yang ada, tetapi “tak ada si pembuat.” Vism. PTS, hal. 513 Tak adalah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai. Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum Cartesian yang berbunyi “cogito ergo sum” yang berarti “aku berpikir, dan karena itu aku ada.” Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir. Sang Buddha pernah bersabda “O bhikkhu, roda tumimbal-lahir samsara tak mempunyai akhir yang dapat dilihat. Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk yang sekarang kelihatan berkeliaran ke sana dan ke mari, diselubungi oleh ketidaktahuan avijja, diikat erat-erat oleh belenggu keinginan yang tak habis-habisnya tanha, tidak dapat diketahui dengan jelas.” S II, hal. 178/9; III hal. 149, 151. Selanjutnya mengenai ketidaktahuan avijja, yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya, Sang Buddha bersabda “Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas. Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa di luar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.” Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan di luar titik tertentu. Inilah secara singkat makna dari Kesunyataan Mulia tentang Dukkha. Sangat penting sekali untuk mengerti Kesunyataan Mulia Pertama ini dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda “Ia yang telah melihat dukkha akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, dapat melihat pula terhentinya dukkha dan dapat melihat pula jalan yang menuju ke terhentinya dukkha.” Harap jangan disalahartikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-benda menurut kodratnya yang sebenarnya atau sewajarnya. Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum mihitapubbangama. Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung. Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah patigha. Patigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” ill-will terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan. Fungsinya ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itu salah sekali bertindak tidak sabar terhadap penderitaan. Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar, dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu. Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya, kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras. Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha. Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang. Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata Buddha. Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus Kesunyataan dan memperoleh Penerangan Agung. Sebaliknya, kegiuran piti termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung Nibbana. 26 Kelas VII SMP “Kenyataannya memang demikian, oh Bhikkhu, lima Khandha yang lampau atau yang ada sekarang, kasar atau halus, menyenangkan atau tidak menyenangkan, jauh atau dekat, harus diketahui sebagai Khandha kelompok kehidupankegemaran semata-mata. Selanjutnya, engkau harus melakukan perenungan dengan memakai kebijaksanaan, bahwa semua itu bukanlah milikmu’ atau kamu’ atau dirimu’. Siswa Yang Ariya yang mendengar uraian ini, oh Bhikkhu, akan melihatnya dari segi itu. Setelah melihat dengan jelas dari segi itu, ia akan merasa jemu terhadap lima Khandha tersebut. Setelah merasa jemu, ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Setelah melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya, ia tidak melekat lagi kepada sesuatu. Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu, akan timbul Pandangan Terang sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Siswa Yang Ariya itu tahu bahwa ia sekarang sudah terbebas dari tumimbal lahir, kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung.” Sewaktu kelima bhikkhu tersebut merenungkan khotbah Buddha, mereka semua dapat membersihkan diri mereka dari segala kekotoran batin Asava. Mereka terbebas seluruhnya dari kemelekatan Upadana dan mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu Arahat. Releksi Buddha menjelaskan tentang lima Khandha, yaitu kelompok badan jasmani, perasaan, pencerapan, pikiran dan kesadaran, merupakan sesuatu yang tidak kekal. Badan jasmani setiap saat selalu berubah, misal rambut bertambah panjang. Perasaan selalu berubah, misalnya sebentar senang sebentar sedih. Pencerapan berubah, misal kadang menganggap benar kadang tidak benar. Pikiran selalu berubah, misal sedang memikirkan pelajaran lalu ganti memikirkan sepakbola. Demikian pula kesadaran, kadang kita sadar penuh, kadang kurang sadar terhadap apa yang sedang kita hadapi. Diskusikan dengan teman sambil dirasakan dan berikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang dimaksud dengan ketidakkekalan badan jasmani, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. B. Khotbah Ketiga Khotbah ketiga ini dinamakan Aditta Pariyaya Sutta Sutta tentang semua dalam Keadaan Terbakar yang dapat diringkas sebagai berikut. “Semua dalam keadaan berkobar, o para bhikkhu Apakah, o para bhikkhu, yang terbakar?” “Mata dalam keadaan terbakar. Bentuk dalam keadaan terbakar. Kesadaran mata dalam keadaan terbakar. Sentuhan mata dalam keadaan terbakar. Perasaan yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan atau menyakitkan maupun tidak menyakitkan, timbul dari sentuhan mata dalam keadaan terbakar.” Oleh apakah ia dinyalakan? Aku nyatakan dengan api nafsu keinginan, kebencian, ketidaktahuan, kelahiran, kesakitan, dan keputusasaan ia dinyalakan. Dengan merenungkan itu, o para Bhikkhu, siswa 27 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti Ariya yang terpelajar menjadi jijik terhadap mata, bentuk, kesadaran mata, sentuhan mata, perasaan apa pun yang menyenangkan, menyakitkan, tidak menyenangkan maupun tidak menyakitkan, Ia timbul dari sentuhan dengan mata. Ia menjadi muak dengan telinga, suara, hidung, bau, lidah, rasa, badan, sentuhan, pikiran, objek mental, kesadaran batin, sentuhan batin, perasaan apa pun menyenangkan maupun tidak menyenangkan atau menyakitkan maupun tidak menyakitkan. Ia timbul karena sentuhan dengan batin. Dengan muak ia lepaskan, dengan pelepasan ia bebas. Ia memahami bahwa kelahiran telah berakhir, menjalani kehidupan suci, melakukan apa yang harus dilakukan, dan di sana tidak ada keadaan seperti ini lagi.” Ketika Buddha Gotama menyimpulkan khotbah ini, semua bhikkhu menghancurkan semua kekotoran batin dan mencapai tingkat Arahat. Releksi Nafsu keinginan, kebencian, kemarahan, dan keputusasaan meliputi banyak orang. Hal itu dapat menjerumuskan manusia ke jurang kehancuran. Sebagai contoh kita tidak mampu menahan nafsu ingin memiliki barang milik orang lain lalu mencurinya. Apa yang akan terjadi? Berikanlah beberapa contoh dari sejumlah rasa hati dan pikiran yang mungkin dapat menyebabkan kerugian bagi diri kita sendiri. C. Khotbah kepada Yasa Pada masa itu, di Benares tinggal seorang anak muda bernama Yasa, anak seorang pedagang kaya raya. Yasa memiliki tiga buah istana dan hidup dengan penuh kemewahan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik yang menyajikan berbagai macam hiburan. Kehidupan yang penuh kesenangan ini berlangsung untuk beberapa lama sampai pada satu malam di musim hujan, Yasa melihat satu pemandangan yang mengubah seluruh jalan hidupnya. 28 Kelas VII SMP Malam itu ia terbangun di tengah malam dan dari sinar lampu di kamarnya, Yasa melihat pelayan- pelayannya sedang tidur dalam berbagai macam sikap yang membuatnya jemu. Ia merasa seperti berada di tempat pekuburan dengan dikelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan. Karena tidak tahan lagi melihat keadaan itu, dengan mengucapkan, “Alangkah menakutkan tempat ini Alangkah mengerikan tempat ini”, Yasa memakai sandalnya dan meninggalkan istana dalam keadaan pikiran kalut dan penuh kecemasan. Ia berjalan menuju ke Taman Rusa Isipatana. Waktu itu menjelang pagi hari dan Buddha sedang berjalan-jalan. Sewaktu berpapasan dengan Yasa, Buddha menegur, “Tempat ini tidak menakutkan. Tempat ini tidak mengerikan. Mari duduk di sini, Aku akan mengajarmu.” Mendengar sapaan Buddha, Yasa berpikir, “Kalau begitu baik juga kalau tempat ini tidak menakutkan dan tidak mengerikan.” Yasa membuka sandalnya, menghampiri Buddha, memberi hormat dan kemudian duduk di sisi Buddha. Buddha memberikan uraian yang disebut Anupubbikatha, yaitu uraian mengenai pentingnya berdana, hidup bersusila, tumimbal lahir di surga sebagai akibat dari perbuatan baik, buruknya mengumbar nafsu-nafsu, dan manfaat melepaskan diri dari semua ikatan duniawi. Selanjutnya Buddha memberikan uraian tentang empat Kesunyataan Mulia yang dapat membebaskan manusia dari nafsu-nafsu keinginan. Setelah Buddha selesai memberikan uraian, Yasa memperoleh Mata Dharma sewaktu masih duduk di tempat itu Yasa mencapai tingkat Arahat sewaktu Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya. Yasa mohon kepada Buddha untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. Buddha mentahbiskannya dengan menggunakan kalimat yang juga digunakan untuk mentahbiskan lima murid-Nya yang pertama, yaitu “Ehi bhikkhu, Dharma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakanlah kehidupan suci.” Perbedaannya bahwa Buddha tidak mengucapkan “Dan singkirkanlah penderitaan” karena Yasa pada waktu itu sudah mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, pada waktu itu sudah ada tujuh orang Arahat Buddha sendiri juga seorang Arahat, tetapi seorang Arahat istimewa karena mencapai Kebebasan dengan daya upaya sendiri. Keesokan harinya dengan diiringi Yasa, Buddha pergi ke istana ayah Yasa dan duduk di tempat yang telah disediakan. Ibu dan istri Yasa keluar dan memberi hormat. Buddha kembali memberikan uraian tentang Anupubbikatha dan mereka berdua pun memperoleh Mata Dharma. Mereka memuji keindahan uraian tersebut dan mohon dapat diterima sebagai Upasika dengan berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha untuk seumur hidup. Mereka adalah pengikut-pengikut wanita pertama yang berlindung kepada Tiga Mustika Buddha, Dharma, dan Sangha. Setelah itu, makan siang disiapkan dan kedua wanita itu melayani sendiri Buddha dan Yasa dengan hidangan lezat. Sehabis makan siang, Buddha dan Yasa kembali ke Taman Rusa Isipatana. Di Benares, Yasa mempunyai empat orang sahabat, semuanya anak-anak orang kaya yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati. Mereka mendengar bahwa Yasa sekarang sudah menjadi bhikkhu. Mereka menganggap bahwa ajaran yang benar-benar sempurnalah yang dapat menggerakkan hati Yasa untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah. Oleh karena itu, mereka menemui Bhikkhu Yasa yang kemudian membawa keempat kawannya itu menghadap Buddha. Setelah mendengar khotbah Buddha, mereka semua memperoleh Mata Dharma dan kemudian diterima menjadi bhikkhu. Setelah mendapat penjelasan tambahan, keempat orang ini dalam waktu singkat mencapai tingkat Arahat. Dengan demikian, jumlah Arahat pada waktu itu sebelas orang. Akan tetapi, Bhikkhu Yasa mempunyai banyak teman yang berada di tempat-tempat jauh, semuanya berjumlah 60 orang. Mendengar sahabat mereka menjadi bhikkhu, mereka pun mengambil 29 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti keputusan untuk mengikuti jejak Bhikkhu Yasa. Mereka semua diterima menjadi bhikkhu dan dalam waktu singkat semuanya mencapai tingkat Arahat sehingga pada waktu itu terdapat 60 orang Arahat. Releksi Hidup berhura-hura ternyata tidak memberikan rasa gembira yang kekal, bahkan dapat berakibat membahayakan badan maupun batin. Apalagi hura-hura itu bersinggungan dengan alkohol dan obat-obat terlarang, dapat dipastikan kehancuran yang akan terjadi. Diskusikan dengan temanmu apa yang akan terjadi kalau kamu sebagai siswa tidak belajar dengan baik, tetapi lebih banyak begadang dan bermain yang kurang bermanfaat. D. Enam Puluh Arahat dengan Misinya 42 Kelas VII SMP Secara garis besar BAB II berisi tentang 1. Keraguan Buddha untuk mengajarkan Dhamma karena Beliau merasa bahwa ajaran yang Beliau temukan sangat sulit untuk dipa- hami manusia. Akhirnya karena jasa Brahma Sahampati Buddha bersedia mengajarkan ajarannya. 2. Setiap pelaksanaan pujabakti umat Buddha melantunkan paritta Aradhana Dhammadesana untuk memohon khotbah kepada ang- gota Sangha. 3. Murid pertama Buddha umat awam upasaka yaitu Tapussa dan Bhalika. 4. Murid pertama yang menjadi anggota Sangha adalah lima pertapa bekas teman Buddha saat enam tahun menjadi Pertapa di hutan Uruvela dengan upasampada “ehi bhikkhu.” 5. Ajaran pertama adalah empat kebenaran mulia Catur ariya sac- cani dan dikenal sebagai Pemutaran Roda Dharma. 6. Peristiwa Buddha pertama mengajarkan ajaran-Nya setiap tahun diperingati umat Buddha sebagai hari Asadha. 7. Lima siswa Buddha mencapai Nibbana. 8. Khotbah kedua yang dinamakan Anattalakkhana Sutta Sutta tentang corak umum tanpa diri yang kekal dan khotbah ketiga yang dinamakan Aditta Pariyaya Sutta Sutta tentang semua dalam Keadaan Terbakar. 9. Khotbah kepada Yasa yang merupakan anak seorang pedagang kaya. Yasa akhirnya menjadi Arahat sewaktu Buddha mengulang uraian tersebut di hadapan ayahnya. 10. Teman-teman Yasa juga mengikuti jejak Yasa menjadi siswa Bud- dha dan mencapai Arahat semua, sehingga siswa Buddha yang mencapai Arahat berjumlah 60 orang. 11. Misi agama Buddha dimulai dengan perintah Buddha kepada 60 Arahat siswa Buddha untuk mengembara kesegenap arah memba- barkan Dhamma yang penuh dengan cinta kasih. 12. Ayah Yasa menjadi siswa dan memiliki Mata Dhamma setelah mendengar khotbah Buddha. 13. Upasampada bhikkhu oleh siswa-siswa Buddha karena sangat menyulitkan kalau setiap orang ingin menjadi bhikkhu harus men- emui Buddha sendiri. Upasampada dengan memanjatkan paritta Tisarana yang dinamakan Tisaranagamana. RANGKUMAN Ayo Mengomunikasikan Uraikan hasil diskusimu di depan kelas untuk mendapat masukan dari teman-temanmu 1. _________________________________________ 2. _________________________________________ 42 Kelas VII SMP 43 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti EVALUASI I. Pilihlah jawaban yang paling tepat 1. Buddha awalnya tidak berniat mengajarkan ajaranNya karena a. Ajaran Beliau bersifat ilmu batin semata. b. Ajaran Beliau sudah umum diketahui orang banyak. c. Sudah banyak orang suci di India zaman itu. d. Ajaran Beliau sangat sulit dipahami oleh orang yang batinnya kotor. 2. Yang mengingatkan Buddha agar tetap mau mengajarkan ajarannya adalah a. Dewa Brahma b. Maha Brahma c. Brahma Vihara d. Brahma Sahampati 3. Setelah berjanji akan mengajarkan ajarannya Beliau pertama kali akan mengajarkan kepada a. Udaka Ramaputra b. Udaka Kalama c. Alara Kalama d. Alara Ramaputra 4. Khotbah kedua diberikan Buddha kepada a. Lima pertapa b. Yasa c. Ayah Yasa d. Tapussa dan Ballika 5. Setelah kelima pertapa bersedia mendengarkan khotbahNya, Buddha memberikan khotbahnya yang dikenal dengan ….. a. Sigalovada Sutta b. Manggala sutta c. Anattalakhana Sutta d. Dhammacakkappavatthana Sutta 43 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 44 Kelas VII SMP II. Jawablah dengan uraikan yang jelas dan tepat 1. Mengapa Buddha ragu-ragu untuk mengajarkan ajarannya? 2. Apa alasannya seorang makhluk dewa meminta agar Buddha mau mengajarkan ajarannya? 3. Apa manfaat bagi Tapussa dan Ballika kalau mereka mempersembahkan tepung dan madu kepada Buddha? 4. Cerikan bagaimana caranya agar Buddha dapat menerima persembahan tepung dan madu dari Tapussa dan Ballika? 5. Mengapa mula-mula lima pertapa teman bertapa Pangeran Sidharta tidak mau menyambut kedatangan Buddha di hutan Uruvela? 6. Jelaskan yang dimaksud dengan lima khandha. 7. Jelaskan tentang khotbah ketiga yang diberikan oleh Buddha. 8. Mengapa Yasa merasa jijik pada kehidupan sehari-harinya? 9. Apa misi enam puluh Arahat siswa Buddha yang diperintahkan Buddha mengembara sendiri-sendiri tidak boleh berdua-dua ke seluruh penjuru? 10. Ceritakanlah cara Upasampada bhikkhu pada zaman Buddha hidup. 44 Kelas VII SMP 45 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti KRITERIA AGAMA BUDDHA III Bab Tarik napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Tahu.” Hembuskan napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Tahu.” Tarik napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Tenang.” Hembuskan napas pelan-pelan, katakan dalam hati “Aku Bahagia.” Ayo Mengamati Amatilah gambar di bawah ini Tahukah kalian, kejadian apa saja ketiga gambar tersebut ? A. Agama Buddha Agama Buddha atau sering disebut Buddha dhamma atau Buddha Dharma merupakan salah satu agama di dunia dipeluk oleh hampir 1 milyar penduduk dunia di berbagai negara. Negara-negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Buddha yaitu Thailand, Srilanka, Birma, Nepal, Tibet, Jepang, Korea, Tiongkok, Vietnam, Kamboja, Laos, dan Taiwan. Disamping itu yang cukup banyak umat Buddhanya yaitu di Singapura, Malaysia, India, dan Indonesia. Mengamati Bacalah teks di bawah ini dengan cermat Gambar Ilustrasi Sidharta lahir Sumber Gambar Ilustrasi Buddha mengajarkan Dharma Gambar Ilustrasi Buddha Parinibbana 45 Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti 46 Kelas VII SMP Agama Buddha dibabarkan oleh Sidhartha Gautama sebagai hasil

jelaskan tentang khotbah ketiga yang diberikan oleh buddha